Keadaan Politik Kerajaan Indonesia
MAKALAH
KEDATANGAN ISLAM DI INDONESIA : KONDISI DAN SITUASI
POLITIK KERAJAAN DI INDONESIA
Disusun
Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Islam Indonesia
Dosen
Pengampu : Ahmad Shofi Muhyidin, LC.,
M.S.I.
Disusun
Oleh:
Etik
Siti Handayani (23060-15-0036)
Irfan
As’ary (23060-16-0081)
Choirunisa Ayu (23060-16-0082)
TADRIS ILMU PENGETAHUAN ALAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami
panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena atas rahmat dan hidayah-NYA kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Kedatangan Islam di Indonesia : Keadaan
dan Situasi Politik Kerajaan-Kerajaan di Indonesia”. Sholawat serta salam
selalu tercurah atas Nabi agung Muhammad SAW yang kelak akan memberikan syafaat
kepada umatnya di hari akhir. Amin ya
Robbal Alamin
Tak lupa ucapan
terima kasih kami ucapkan kepada
teman-teman yang telah membantu dan mendukung pembuatan makalah
ini. Dalam pembuatan makalah ini kami menemui beberapa kesuliatan dalam mencari
materi dan memahaminya, tetapi dengan sekuat tenaga dan sungguh-sungguh kami
mencoba menelaah, memahami materi ini untuk dapat disajikan kepada pembaca. Akhirnya materi ini dapat kami selesaikan.
Semoga makalah
ini dapat memberikan manfaat kepada para pembaca dan penulis yang ingin
mengambil materi dari makalah kami. Kritik dan saran sangat kami harapkan dalam
upaya perbaikan membuat makalah selanjutnya. Terima kasih, dan selamat membaca.
Salatiga,
4 Oktober 2016
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
Sampul..................................................................................................i
Kata
Pengantar...............................................................................................ii
Daftar
Isi.........................................................................................................iii
BAB I
PENDAHULUAN..................................................................................1
A.
Latar
Belakang.........................................................................................1
B.
Rumusan
Masalah................................................................................1
C.
Tujuan
Penulisan.................................................................................2
BAB II
PEMBAHASAN...................................................................................3
A.
Pengertian
politik kerajaan...........................................................................3
B.
Kedatangan islam di Indonesia....................................................................3
C.
Keadaan dan kondisi politik kerajaan-keraaan di Indonesia ...................6
BAB III
PENUTUP............................................................................................21
A.
Kesimpulan
..........................................................................................21
B.
Saran...................................................................................................21
DAFTAR
PUSTAKA.....................................................................................22
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Dikatakan bahwa sanya Islam pertama kali masuk ke Indonesia pada
abad pertama Hijriyah yaitu dibawa oleh para pedagang-pedagang Islam. Daerah
yang pertama kali disinggahi pedagang islam adalah daerah pesisir Sumatra
Utara, yang kemudian daerah ini pula yang menjadi penyebaran islam pertama di
Nusantara.
Keberadaan kerajaan-kerajaan Islam juga mempengaruhi persebaran dan
meluasnya Agama Islam di Indonesia. Antara kerajaan satu dengan kerajaan lain
nya memiliki system politik dalam mengatur tata pemerintahan yang berbea-beda.
Di dalam makalah ini penulis akan membahas pertama-tama mengenai
pengertian politik sebelum selanjutnya membahas mengenai kondisi dan situasi
politik beberapa kerajaan-kerajaan Indonesia. Bukan hanya itu, di dalam makalah
ini penulis juga akan membahas mengenai bagaimana kedatang Islam di Indonesia
yang mencangkup pembahasan masuknya Islam di Nusantara dan proses Islamisasi.
2.
Rumusan Masalah
Untuk
memudahkan mencari materi yang akan dijelaskan dalam makalah ini, kami membuat
rumusan masalah sebagai berikut :
a.
Apa
yang dimaksud politik kerajaan ?
b.
Bagaimana
kedatangan islam di Indonesia ?
c.
Bagaimana
kondisi dan situasi politik kerajaan-kerajaan Indonesia?
3.
Tujuan Penulisan
Tujuan
dari pembuatan makalah ini adalah :
a.
Agar
pembaca mengetahui terlebih dulu pengertian politik sebelum melangkah lebih
jauh ke keadaan politik kerajaan.
b.
Agar
pembaca mengetahui bagaimana masuknya islam di Indonesia.
c.
Agar
pembaca mengetahui kondisi dan situasi politik kerjaan-kerajaan di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Politik Kerajaan
Politik berasal dari bahasa Yunani yaitu “Politikos” yang berarti
dari, untuk atau yang berkaitan dengan warga Negara. Politik adalah proses pembentukan
dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang berwujud proses pembuatan
keputusan, khususnya dalam Negara. Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih
kekuasaan secara konstitusional maupun non konstitusional. Politik adalah hal
yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan Negara yang merupakan
kegiatan dengan arah mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan.
Monarki berasal dari bahasa Yunani yaitu “Monos” yang berarti satu
dan “Archein”yang berarti pemerintah. Monarki atau kerajaan merupakan jenis
pemerintahan yang dipimpin oleh seorang penguasa. Monarki atau kerajaan adalah
adalah system pemerintahan tertua di dunia.
B.
Kedatangan Islam Di Indonesia
Sebelum agama islam masuk ke Indonesia, berbagai macam agama dan
kepercayaan seperti Animisme, Dinamisme, Hindu, Budha, telah dianut oleh
masyarakat Indonesia. Bahakan pada abad ke 7-12 M di beberapa kepulauan
Indonesia telah berdiri kerajaan Hindu dan Budha.
Menurut hasil seminar “Masuknya Islam di Indonesia” paa tanggal
17-20 Maret 1963 di Medan yang dihadiri oleh sejumlah buayawan an sejarawan
Indonesia, disebutkan bahwa agama Islam masuk pertama kali di Indonesia pada
abad pertama hijriyah (kira-kira abad 8 M)
Islam masuk ke Inonesia melauali dua jalur yaitu :
1.
Jalur
utara, dengan rute : Arab (Mekah dan Madinah) – Damaskus – Baghdah – Gujarat
(Pantai Barat India) – Srilangka – Indonesia.
2.
Jalur
selatan, dengn rute : Arab (Mekah dan Maddinah) – Yaman _ Gujarat – Srilangka –
Indonesia.
Daerah pertama dari kepulauan Indonesia yang dimasuki Islam adalah
pantai Sumatra bagaian Utara.
Berawal dari aerah itulah Islam mulai menyebar ke berbagai pelosok
Indonesia yaitu wilayah-wilayah pulau Sumatra ( selain pantai Sumatra bagaian
utara), Pulau Jawa, Pulau Sulawesi, Pulau Kalimantan, kepulauan Maluku dan
sekitarnya dalam kurun waktu yang berbea-beda.[1]
Dalam waktu yang tidak terlalu lama Islam telah tersebar keseluruh
pelosok kepulauan Inonesia, sehingga mayoritas bangsa Indonesia beragama Islam.
Hal ini disebabkan antara lain sebagai berikut :
1.
Adanya
drongan kewajiban bagi setiap muslim tau muslimah, khususnya bagi para ulama
nya untuk berdakwahmenyiarkan agama islam sesuai dengan kemampuan mereka
masing-masing.
2.
Adanya
kesungguhan hati dan keuletan para juru dakwah untuk berdakwah secara
terus-menerus kepada keluarga, tetangga, dan masyarakat sekitarnya.
3.
Persyaratan
memasuki islam sangat mudah, seseorang dianggap masuk islam dengan mengucapkan
dua kalimat syahadat. Demikian ajaran-ajaran Islam mudah dipahami dan diamalkan
oleh segenap rakyat Indonesia. Upacara-upacara dalam agama islam lebih
sederhana dibandingkan upacara-upacara agama lain.
4.
Ajaran
islam tentang persamaan dan tidak adanya system kasta dan diskriminasi mudah
menarik simpati rakyat, terutama dari lapisan bawah.
5.
Banyak
Raja-raja Islam diberbagai wilayah Indonesia ikut berperan aktif melaksanakan
dakwah, khususnya terhadap rakyatnya. Dan umumnya apa yang dianjurkan para Raja
senantiasa ditaati oleh rakyatnya.
Kedatangan
islam dan penyebarannya kepada golongan bangsawan dan rakyat umumnya, dilakukan
secara damai. Apabila situasi politik suatu kerajaan mengalami kekacauan dan
kelemahan disebabkan berebutan kekuasaan dikalangan keluarga istana, maka islam
dijadikan alat politik bagi golongan bangsawan atau pihak-pihak yang menghendaki
kekuasaan itu. Apabila kerajaan islam sudah berdiri, pengusanya melancarkan perang
terhadap kerajaan NonIslam. Hal itu bukanlah karena persoalan agama tetapi
karena dorongan politik untuk mengusai kerajaan-kerajaan disekitarnya. Menurut
Uka Tjandrasasmita, saluransalura islamisai yang berkembang ada 6 yaitu :
1. Saluaran
Perdagangan
Pada taraf permukaan,
saluran islamisasi adalah perdagangan. Saluran islamisasi melalui perdagangan
ini sangat menguntungkan karena para raja dan bangsawan turut serata dalam
kegiatan perdagangan, bahkan mereka menjadi pemilik kapal dan saham. Kesibukan
lalu lintas perdagangan pada abad ke-7 hingga ke-16 membuat perdagangan-perdagangan
muslim ( Arab, Persia dan India) turut ambil bagian dalam perdagangan dari negeri-negeri
dari bagian barat, Tenggara dan Timur Benua Asia.
2. Saluaran
Perkawinan
Dari sudut ekonomi,
para pedagang muslim memiliki status social yang lebih baik dari pada
kebanyakan pribumi sehingga penduduk pribumi, terutama puteri-puteri
bangsawan,tertarik untuk menjadi isteri-isteri saudagar itu. Sebelum kawin,
mereka di isalam kan terlebih dahulu. Setelah mereka mempunya keturunan,
keturunan mereka makin luas.akhirnya timbul kampung-kampung, daerah-daerah dan
kerajaan-kerajaan muslim.
3. Saluran
Tasawuf
Pengajar-pengajar
tasawuf, atau para sufi, mengajarkan teosofi yang beracampur dengan ajaran yang
sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Mereka mahir dalam soal-soal
magis dan mempunyai kekuatan-kekuatan menyembuhkan. Diantara mereka ada juga
yang mengawini puteri-puteri bangsawan setempat dengan tasawuf “bentuk” islam
yang diajarkan kepada penduduk pribumi mempunyai persamaan dengan alam pikiran
mereka yang sebelumnya menganut agama Hindu, sehingga agama baru itu mudah
dimengerti dan diterima.
4. Saluran
Pendidikan
Islamisasi juga
dilakukan melalui pendidikan, baik pesantren maupun pondok yang diselenggarakan
oleh guru-guru agama, kyai- kyai dan ulama’-ulama’ dipesantren atau pondok itu.
Calon ulama’, guru agama dan kyai mendapat pendidikan agama. Setelah keluar
dari pesantren, mereka pulang kekampung masing-masing atau berdakwah ketempat
tertentu mengajarkan islam.
5. Saluran
Kesenian
Saluran islamisasi
malalui kesenian yang paling terkenal adalah pertunjukan wayang. Sebagaian
besar cerita wayang masih dipetik dari cerita mahabarata dan Ramayana, tetapi
didalam cerita itu disisikan ajaran dan nama-nama pahlawan islam, kesenian-
kesenian lain juga dijadikan alat islamisasi seperti sastra (Hikayat, Babat dan
Sebagainya), seni bangunan dan seni ukir.
6. Saluran
Politik
Dimaluku dan sulawesi
selatan, kebanyakan rakyat masuk islam setelah Rajanya memeluk islam terlebih
dahulu. Pengaruh politik raja sangat membantu tersebarnya islam di daerah ini.
Disamping itu, baik Sumatera dan Jawa maupun di Indonesia bagian timur, demi
kepentingan politik, kerajaan-kerajaan islam memerangi kerajaan-kerajaan
nonislam. Kemenangan kerajaan Islam secara politik banyak menarik penduduk
kerajaan bukan islam itu masuk islam.
C.
Keadaan dan Kondisi Politik Kerajaan di Indonesia
1.
Aceh Darussalam
Berbicara mengenai system politik di kerajaaan Aceh Darussalam
dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu periode sebelum Sultan Iskandar Muda (1514-1607) dan periode
semenjak bertahtahtanya ke belakang.
Untuk periode awal, sebelum Iskandar Muda system perpolitikan Aceh
Darussalam masih belum terorganisir secara baik dan rapi mengingat kondisinya
baru saja terlepas dari pengaruh pedie sehingga konsentrasi lebih tercurahkan
untuk pembenahan militer dalam upaya mempertahankan keberadaannya dari berbagai
kemungkinan bahaya yang datang dari dalam maupun dari luar (termasuk pengaruh
kolonialis). Disamping itu usaha ekspansi terus dilakukan untuk memperluas
wilayah.[2]
Berbeda halnya ketika Tuan Iskandar Muda menduduki tahta kesultanan
Aceh, beliau selain menjalankan ekspansi juga begitu antusias untuk menata
system politik terutama yang berkaitan dengan konsulidasi atau pemantapan
wilayah yang sudah dikuasai. Langakah ini beliau tempuh mengingat betapa system
pemerintahan yang mantap dan terkonsulidasi secara seksama akan menciptakan
stabilitas yang sehat.
Ada dua sitem yang ditempuh dalam upaya stabilitas kesultanan Aceh
pada saat itu : system politik internal (yang menyangkut kepentingan dalam
negeri), dan system eksternal (yang berhubungan dengan Negara asing).
Kaitannya dalam system politik internal, pada masanya telah
terususun struktur pemerintahan secara rapi yang secara koordinatif menghubungkan
antara pusat dengan daerah-daerah. Wilayah inti kerajaan Aceh (Aceh Raya)
terbagi atas wilayah sagi dan wilayah pusat kerajaan. Tiap sagi terbagi menjadi
beberapa Mukim sagi XXV mukim (meliputi Aceh Barat), sagi XXII mukim (berada di
bagian Tengah sebelah Selatan), dan sagi XXVI mukim (terletak di bagian Timur).
Masing-masing sagi terbagi lagi menjadi wilayah yang lebih kecil setingkat
distrik.1 Kemudian masing-masing distrik terbagi atas mukim-mukim (yang
dikepalai oleh seorang Imam), dan masing-masing mukim terbagi lagi menjadi
gempong-gempong (yang dikepalai oleh seorang keuci).[3]
Tiap-tiap sagi dikepalai oleh panglima. Sagi atau sering disebut
dengan Hulubalang Besar yang bergelar Teuku sedang untuk masing-masing distrik
di kepalai oleh Hulubalang (Uleebalang) yang bergelar Datuk. Para Hulubalang
Pusat, mempunyai kekuasaan yang otonom sifatnya; baik dalam mengatur tata
pemerintahan wilayahnya sampai kepada pewarisan tahtanya. Sultan hanya berfungsi
symbol pemersatu dari masing-masing sagi yang dikepalai langsung oleh
hulubalang.
Dalam menjalankan roda pemerintahan, sultan dibantu oleh seorang
Mangkubumi yang membawahi empat mantri hari-hari (penasehat raja). Disamping
itu Raja juga dibantu oleh Syahbandaaar untu mengurusi keuangan istana, Kepala
Kreung (dibantu Dawang Kreung) untu mengurusi lalu lintas dimuara sungai,
Panglima Losot sebagai penarik cukai barang-barang ekspor-impor dan Krani
sebagai sekretaris istana.
Jabatan-jabatan tinggi istana ini kemudian di abad ke-17 dan e-18
lebih disempurnakan lagi, antara lain :
a.
Hulubalang
Rama Setia, sebagai Pengawal Pribadi Istana.
b.
Kerkum
Katib al-Muluk, Sekretaris Istana.
c.
Raja
Udah na Laila, sebagai Kepala bendaharawan istana dan perpajakan.
d.
Sri
Maharaja Laila, sebagai Kepada Kepolisian.
e.
Laksamana
Panglima Paduka Sirana, sebagai Penvakapan.
Sistem pergantian raja di Aceh pada dasarnya tidak jauh berbeda
dengan system di kerajaan-kerajaan lain. Hanya saja di Aceh sistemnya agak
longgar, artinya tidak selalu terikat pada putra laki-laki saja tetapi wanita,
kemenakan atau istri raja yang meninggal pun bisa. Sedangkan sistem politik
yang bersifat eksternal ( yang berkenaan dengan orang-orang Asing ), beliau
mengambil jalan keras dan mengadakan pengetatan terhadap mereka. Sayangnya
pewaris istana sesudah beliau tidak lagi menempuh jalan yang beliau terapkan,
mereka cenderung lebih bersifat kompromistis mungkin langkah ini mereka tempuh karena
terpaksa.
2.
Kerajaan
Mataram
Sistem politik di kerajaan Mataram, kalau dibicarakan secara
detail, sangat luas serta menyita waktu yang tidak sedikit. Kesempatan ini
disinggung sedikit itupun hanya terbatas pada masa Panembahan Senopati hingga
Susuhunan Amangkurat I. Hal ini sangat menarik mengingat suhu politik di
periode-periode tersebut mengalami turun naik secara drastis; Periode
Panembahan Sedo Ing Krapyak kemudian Sultan Agung lain dengan ayahnya dan
Susuhunan Amangkurat I bertolak belakang dengan apa yang telah ditempuh
pendahulunya.
Untuk sistem politik yang intern sifatnya, terutama yang menyangkut
konsulidasi tata pemerintahan dalam negeri, seperti sistem birokrasi, system penggantian
raja dan lain-lain masing-masing mereka hampir tak ada perbedaan andaikata ada
itu hanya menyempurnakan apa yang telah berlaku.
Akan tetapi dalam hal penguasaan wilayah dan upaya ekspansi, kadang
kandang mengalami kenaikan (banyak daerah yang dapat dikuasai) kadang-kadang menurun
(banyak yang melepaskan diri dari pengaruh Mataram), seperti pada masa
pemerintahan Panembahan Senopati di sini dengan kharismanya yang tinggi ia
telah mampu mengangkat martabat Mataram ke strata yang lebih bergengsi (yakni
daerah bawahan Pajang menjadi daerah yang berdiri sendiri). Akan tetapi ketika putranya
berkuasa usaha ekspansi terhenti dan banvak daerah yang memberontak untuk melepaskan
diri.
Degradasi politik Mataram segera bisa diatasi saat putranya, Sultan
Agung, tampil sebagai pemegang tampuk pemerintahan bahkan pada masanya gengsi
Mataram berada dalam posisi puncak. Daerah-daerah di seluruh Jawa, kecuali
wilayah Barat semuanya berada dalam imperium Mataram. Ketika kendali pimpinan
beralaih ke tangan Susuhunan Amangkurat I martabat Mataram menjadi merosot
kembali, wilayah kekuasaannya pun semakin menciut. Dari keterangan di atas
dapat diambil pengertian bahwa karisma rajalah yang memegang kunci penting
sukses tidaknya, terangkat atau merosotnya martabat kerajaan. Karena raja
memiliki kekuasaan sentral yang syah atas wilayah kekuasaannya, maka ia
dipandang sebagai pusat kosmos dan dari pribadinyalah terpancar kekuatan yang
berpengaruh pada alam dan masyarakat sekitarya.
Keabsahan (legitimitas) kedudukan dan kekuasaan raja Mataram, kecuali
Panembahan Senopati, diperoleh karena warisan. Secara tradisional pengganti
raja-raja ditetapkan putera laki-laki tertua dari permaisuri raja (garwa
padmi), bila tidak ada maka putra laki-laki dari isteri selir (garwa ampeyan)
pun bisa dinobatkan sebagai pengganti raja. Apabila terpaksa dari keduanya
tidak didapatkan masa saudara laki-laki, paman atau saudara laki-laki tua dari
ayahnya bisa menjadi pengganti.
Sistem penggantian raja di Mataram ini lebih terikat dibandingkan Aceh
Darussalam yang longgar, di sini yang berhak mewarisi tahta hanya mereka yang
dan jalur laki-laki dan kenyataannya hingga kini tak seorangpun penguasa
Mataram, baik yang ada di Yogyakarta maupun di Surakarta (Solo) terdiri dari
wanita.
Mengenai sistem politik eksternalnya, di antara penguasa Mataram bisa
ditemui perbedaan-perbedaan yang menyolok dalam menerapkan sistem untuk
menghadapi penetrasi Barat; ada yang menempuh sikap kompromistis dan ada pula yang
anti pati sama sekali. Pada masa Panembahan Senopati, usaha tersebut memang belum
ditemui. Hal ini disebabkan walaupun saat itu orang-orang Eropa sudah
bermunculan di Nusantara, konsentrasi politik sedang dicurahkan untuk konsulidasi
dan penguasaan kerajaan-kerajaan sekitarnya. Sedangkan pada masa Panembahan
Sedo, Krapyak kehadiran Belanda diterima dengan baik di akhir kekuasaannya.
Beda halnya dengan penguasa Mataram berikutnya, Sultan Agung, beliau
termasuk penguasa yang antipati pada Kompeni. Berbagai usaha telah diupayakan
untuk mengusik keberadaan dan membendung penetrasinya yang kian kuat di bumi
Nusantara. Dua kali sudah ekspedisi militer ia kirimkan ke Batavia untuk
memukul mundur VOC; masing-masing pada tahun 1628 dan 1629 walaupun pada
akhirnya memperoleh kegagalan.
Setelah tokoh penentang keras kompeni itu wafat, Mataram kemudian
diperintah raja yang pro dengan kompeni, Susuhunan Amangkurat I. Walaupun
kebijaksanaan dan langkahnya mendapat tantangan dari kebanyakan rakyat tetapi
ia tetap bersikeras melaksanakannya. Akhirnya meletuslah berbagai
pemberontakan. Pada masanya wilayah Mataram, yang dulunya sangat luas
pengaruhnya, sedikit demi sedikit berkurang. Sementara kekuasaan kompeni
semakin luas, pengaruhnya terhadap sistem intern kerajaan semakin besar, system
panggantian tahta, pengangkatan pejabat-pejabat tinggi kerajaan, pelaksanaan
birokrasi dan lain-lain tak lepas dari pengawasan Belanda.
3.
Kerajaan
Banten
Meninggalnya Maulana Yusuf tahun 1580
merupakan awal terjadinya intrik politik di lingkungan istana, sebab ketika
beliau wafat putra mahkota Pangeran Muhammad baru berusia 9 tahun. Momentum ini
dimanfaatkan oleh Pangeran Arya Jepara (adik Maulana Yusuf) untuk menampilkan
dirinya sebagai pengganti kakaknya. Ia menuntut kepada pembesar kerajaan Banten
untuk menobatkan dirinya sebagai penguasa Banten sampai pangeran yang berwenang
mencapai dewasa. Karena kehendaknya tidak dikabulkan kadli sebagai wali Sultan
maka pertempuran pun tidak dapat dihindarkan lagi. Dalam pertempuran itu Pangeran
Jepara dan prajuritnya kalah, akhirnya ia kembali ke Jepara dengan tangan hampa.
Setelah intrik politik yang ditimbulkan
Pangeran Arya Jepara usai, suhu politik Banten mengalami perubahan yang serius;
musyawarah kadli memutuskan sebagai pelaksana pemerintahan darurat sementara
menunggu usia Sultan dewasa adalah Mangkubumi. Perubahan sistem ini kemudian
membawa pengaruh yang besar bagi perjalanan politik di kesultanan Banten karena
bagaimanapun tampilnya Mangkubumi sebagai pucuk pelaksana pemerintahan telah
memancing rasa cemburu dan iri keluarga bangsawan, terutama kalangan pangeran. Suasana
politik Banten menjadi semakin suram setelah gugurnya Maulana Muhammad dalam
ekspedisi penyerangan Palembang dalam usia yang relatif muda. Karena putra
mahkota masih 5 bulan usianya, maka untuk yang kedua kalinya kendali
pemerintahan Banten dipegang oleh Mangkubumi. Secara otomatis jabatan mangkubumi
menjadi incaran, banvak pangeran yang berambisi menduduki jabatan bergengsi
itu. Sebagai akibatnya terjadilah pemberontakan-pemberontakan disana-sini yang membuat
situasi politik menjadi melemah. Upava ekspansi tidak mungkin bisa dilaksanakan
saat itu karena untuk menyelesaikan persoalan intern sendin cukup banvak
menyita waktu sementara di luar istana Kompeni dan orang Eropa lainnya mulai
bersiap untuk memasang politik adu dombanya.
Yang sangat tragis (akibat suhu politik
yang tidak sehat) ialah Jayakarta, yang merupakan pelabuhan andalan, terpaksa
jatuh ketangan Belanda pada tahun 1619.
4. Kerajaan
Palembang
a. Pemerintahan
Wilayah
kesultanan Palembang Darussalam kira-kira meliputi wilayah keresidenan
Palembang dulu pada waktu pemerintahan Belanda ditambah dengan Rejang-Amput
Petulai (lebong) dan Belalu, disebelah selatan dari danau Ranau. Pusat
pemerintahan kesultanan berada di kota Palembang dimana pemerintahan dikendalikan
oleh putra mahkota, yang juga penasehat sultan langsung, wakil dan pengganti.
b. Ekonomi
Perekonomian
kesultanan Palembang, sesuai dengan letaknya, sangat dipengaruhi oleh
perdagangan luar dan dalam negeri. Perdagangan diadakan dengan pulau Jawa,
Riau, Malaka, negri Siam dan negri Cina. Disamping itu, datang pula dari
pulau-pulau lainnya perahu-perahu yang membawa dan mengambil barang dagangan.
Komoditi yang terpenting adalah hasil pertambangan timah.
c.Politik
Politik yang
dijalankan di kesultanan selama berdirinya +50tahun, membuktikan telah
berhasilnya menciptakan pemerintahan vang stabil, dimana ketentraman dan
keamanan penduduk dan perdagangan terpelihara dengan baik. Demikian juga
hubungan dengan negara-negara tetangga umumnya terjalin dengan baik, hanya ada
satu kali perang saja sewaktu pra-kesultanan pada tahun 1596 dengan Banten yang
berlatar belakang pertikaian ekonomi untuk memperebutkan pangkalan perdagangan
di selat Malaka.[4]
Prestasi
politik pada masa pemerintahan Sultan Susuhunan Abdurrahman yang paling
menentukan bagi perkembangan kesultanan Palembang Darussalam, adalah kebijaksanaannya
untuk meiepaskan diri dari ikatan perlindungan (protektorat) Mataram kira-kira
pada tahun 1675 tanpa menimbulkan penindasan dan peperangan. Hubungannya dengan
Mataram tetap terpelihara dengan baik. Yang mendapat tantangan berat adalah
politik dalam menghadapi imperialisme dan kolonialisme Eropa (Belanda dan
Inggris) dengan kelebihan teknologi alat perangnya dan kelicikan politiknya,
sehingga banvak mendatangkan kerugian kepada pihak kesultanan, dan akhirnya mengakibatkan
hilangnya eksistensi kesultanan itu sendiri. Politik imperialis dan kolonialis
ini yang dikenal dengan "Belanda minta tanah" dengan taktik tipu
muslihatnva devide et impera.
5.Kerajaan Ternate
Jauh sebelum kedatangan bangsa bangsa Barat, kepulauan Maluku telah
di kenal sebagai daerah penghasil rempah-rempah yang pada waktu itu nilainya
sangat tinggi di banding dengan hasil bumi lainnya. Sejak datangnya bangsa
Portugis dan Belanda ke daerah Maluku menjadikan daerah tersebut sebagai ajang
perebutan kekuasaan terhadap rempah-rempah antara dua bangsa itu maupun dengan
kerajaan lokal yang ada di kepulauan Maluku.
Pada akhir abad ke 16 kerajaan Ternate meluaskan kekuasaannya ke daerah
Maluku Tengah yaitu di Hoamoal (P. Seram), dan di pulaupulau kecil di
sekitarnya (Buru, Manipang, serta Kelang dan Boanou) di mana motif yang
sesungguhnya dalam exspansi ini tidak jelas tetapi ada kemungkinan karena
faktor perdagangan cengkeh, dan adanya persaingan dengan bangsa-bangsa Portugis
yang menguasai daerah Maluku. Dengan bertambah maju dan berkembangnya akan
penanaman rempah-rempah seperti pala, cengkeh, lada maka menyebabkan semakin
tingginya minat bangsa asing untuk meraih dan merangkul seluruh kepulauan
Maluku. Sehingga tidak asing lagi kalau kerajaan Ternate serta seluruh kerajaan
yang ada di Maluku mengadakan perlawanan dan peperangan yang mana dalam usaha
tersebut tak ketinggalan pula peran ulama' yang dengan gigihnya merintangi dan
melawan penjajah yang hendak menguasai wilayah serta perekonomian negerinya.
Adapun tata sususan raja-raja yang berkuasa di kerajaan Ternate yaitu
:
a.
Zainal
Abidin sebagai Sultan Ternate I
b.
Sirullah
sebagai Sultan Temate II
c.
Khairun
sebagai Sultan Ternate III
d.
Babullah
sebagai Sultan Ternate IV
Keempat raja tersebut terkenal gigih dalam mempertahankan daerahnya
dari serangan musuh yang datang dan ingin menguasainya, baik secara halus
maupun terang-terangan.
Demikianlah situasi kerajaan Ternate dan kepulauan Maluku, baik itu
terjadi pada awal berdirinya kerajaan Ternate maupen pada masa perkembangannya.
Situasi politik Kerajaan Ternate seperti halnya kerajaan Islam yang
lain juga telah mengenai politik dalam menjalankan pemerintahan. Dalam
pergantian kekuasaan raja masih berlaku sistem turun temurun dan ini terbukti
ketika Sultan yang pertama (Zainal Abidin) wafat. maka sebagai gantinya adalah putranya
yang bernama Sirullah. Pada masa pemerintahan raja-raja Ternate telah beberapa
kali terjadi perjanjian diantaranya adalah perjanjian dengan gubernur De
Mesquita, seorang kristen vang dilakukan oleh Sultan Khairun. Beliau diundang dalam
acara jamuan besar di Benteng Portugis untuk menghormati perjanjian yang telah
mereka lakukan. akan tetapi diluar dugaan terjadi peristiwa yang sangat
mengejutkan. karena Sultan Khairun ditikam oleh seorang pengawal pribadi De
Mesquita dan akhirnnya pada saat itu juga sultan meninggal. Dengan penstiwa
tersebut, Babullah sebagai putranya menjadi marah dan seluruh daerah Ternate
menjadi goncang baru kemudian pejabat atau orang-orang besar melantik Babullah
menjadi sultan sebagai pengganti ayahnya. Dalam pelantikan itu rakyat diundang
untuk menyaksikan dan bersorak sorai menyatakan kesetiaannya karena perhatian
raja pada rakyatnya yang betul-betul terlihat dalam mensejahterakan mereka. Pada
masa sebelum Islam datang, masyarakat Ternate menganut kepercayaan animisme dan
dinamisme, menganggap nenek moyang mereka adalah yang paling keramat. Tetapi
setelah Islam datang keadaan menjadi berubah yang mana diawali masuknya raja
mereka memeluk Islam dan diikuti oleh rakyatnya.
Sebagai kerajaan Islam, Kerajaan Ternate memiliki masjid sebagai tempat
peribadatan. disamping itu juga dimanfaatkan sebagai tempat musyawarah untuk
memecahkan masalah-masalah yang menyelimuti kerajaan. Demikian pula dengan para
ulamanva juga tidak ketinggalan untuk menyumbangkan tenaganya guna membina
rakyat, memberikan pengetahuan serta wejangan-wejangan kepada para pejuang
untuk mengusir penjajah dan tanah air mereka.
Tercatat dalam sejarah, bahwa dalam pusat kerajaan Temate terdapat beberapa
masjid dengan bangunan yang megah dan unik yang membedakan dengan bangunan
masjid-masjid yang ada di daerah lain.
6.
Kerajaan
Makasar
Sultan Hasanuddin adalah sosok religius,dalam menghadapi bangsa
asing yang ingin menguasai perdagangan rempah-rempah. Sangatlah non-cooperatif.
Karena tindakan mereka yang serakah sangat bertentangan dengan kehendak Tuhan
Yang Maha Pemurah. Dalam hal ini adalah Belanda,yang ingin menguasai
perdagangan di Makasar. Walaupun telah diblokade, tetapi tidak diacuhkannya.
Beliau tidak ingin kehilangan sebagian daerahnya. Apalagi setelah diikat dengan
perjanjian Bongaya yang sangat merugikannya. Beliau dan seluruh rakyat sangat
marah serta bertekat untuk dengan segala kemampuannya melawan Belanda, walaupun
akhirnya mereka kalah.
Sistem politik yang dilancarkan oleh Kerajaan Makasar adalah sistem
terbuka. Politik dengan prinsip terbuka itu berdasarkan teori laut bebas. Teori
ini dianut oleh raja-raja Makasar dan sesuai benar dengan status politik Goa
Tallo, serta pelabuhan makasar pada saat itu. Sistem perdagangan terbuka ini
dirasa lebih menguntungkan dari pada merugikan, lagi pula pedagang asing
mendapat jaminan bagi usaha mereka sehingga perdagangan internasional tersebut
dapat menghidupi dengan segala keuntungan dari padanva. Politik sentralisasinya
cenderung diktator. Dalam memperlakukan kerajaan-kerajaan bawahannya, kurang
menghormati dan cenderung menganggap sebagai daerah taklukan. Hal ini merupakan
salah satu sebab runtuhnya kerajaan Makasar dari dalam.
7.
Kerajaan
Banjar
Kerajaan Banjar pada abad ke-17 M , ada hubungan dengan kerajaan Mataram
di Jawa. Hubungan ini memberi pengaruh terhadap system pemerintahan kerajaan
Banjar. Cence, sarjana Belanda mengatakan bahwa corak organisasi pemerintahan
Banjar banyak dipengaruhi oleh Jawa, meskipun bukan dari Majapahit tapi mungkin
dari Demak atau Mataram. Ia mengambil contoh organisasi kerajaan Kota Waringin
yang merupakan bagian dari kerajaan Banjarmasin, yang jelas dipengaruhi oleh
Jawa. Walaupun susunan organisasi pemerintahan dibangun menurut model Jawa. Raja
dalam kekuasaannya tidaklah semutlak (seabsolut) raja-raja Mataram. Dalam
kerajaan, disamping keturunan, kekayaan juga merupakan faktor yang menentukan
dalam kedudukan raja. Pada hakekatnya pemerintahan lebih bersifat aristokratis,
yang dikuasai oleh kaum bangsawan, di mana raja ditengah-tengah golongan
bangsawan dan para pedagang besar hanya merupakan pemersatu belaka. Sultan
dalam struktur kerajaan Banjar adalah penguasa tertinggi, yang mempunyai
kekuasaan dalam masalah politik dan persoalanpersoalan keagamaan. Dalam
struktur kerajaan ini di bawah Sultan adalah Putera Mahkota yang dikenal dengan
sebutan Sultan Muta. Ia tidak mempunyai jabatan tertentu tetapi pembantu
Sultan. Disamping Sultan, terdapat sebuah lembaga Dewan Mahkota yang terdiri
dari kaum bangsawan dan Mangkubumi.
Mangkubumi adalah pembantu Sultan vang mempunyai peranan besar
dalam roda pemerintahan. Jabatan Mangkubumi adalah jabatan yang biasanya
dipegang oleh keluarga Sultan yang terdekat. Jabatan Mangkubumi tidak diadakan
dengan cara turun temurun.Mangkubumi di dalam pemerintahan didampingi Menteri Panganan,
Menteri Pangiwa dan Menteri Bumi dan dibantu lagi oleh 40
orang Menteri Sikap. Tiap-tiap menteri Sikap mempunyai bawahan sebanyak 100
orang. Menteri Panganan dan Menteri Pangiwa bertugas mengurusi perbendaharaan
istana dan administrasi kerajaan termasuk pula Syahbandar yang bertugas mengatur
perdagangan dengan dunia luar, Syahbandar mempunyai peranan penting dalam
kerajaan mengingat pelabuhan di Kalimantan Selatan merupakan tempat
persinggahan dari berbagai negara.[5]
Dalam kerajaan Banjar
sebelum abad ke-18 M pemimpin agama tidak termasuk dalam struktur kerajaan.
Hukum Islam sebelumnya tidak diberlakukan dalam kerajaan. Hukum yang berlaku
saat itu terhimpun dalam sebuah buku undang-undang hukum yang disebut Kutara,
yang disusun oleh Arya Trenggana ketika dia menjabat Mangkubumi kerajaan. Mangkubumi
mempunyai wewenang dalam keputusan terakhir terhadap seseorang yang dijatuhi
hukuman mati. Elite birokrasi di luar istana terdiri dari Adipati (Gubernur)
untuk tingkat propinsi yang membawahi daerah-daerah yang setingkat dengan
distrik (Kabupaten). Lalawangan membawahi yang setingkat dengan onderdistrik
(kecamatan) yang dikepalai oleh Lurah, sedangkan Lurah membawahi desa yang
dikepalai oleh Pembakal (kepala desa). Untuk melengkapi tata laksana di dalam
keraton, maka dibentuk badan-badan khusus seperti Pasukan Sarawisa. Kelompok
ini terdiri dari 50 orang, mereka bertugas melaksanakan pengawasan atas
keamanan keraton. Kepala pimpinan Sarawisa ini disebut Surabraja. Tugas
mengurus dan membersihkan (Bailarung) diserahkan kepada para petugas Mandung
yang beranggotakan 50 orang yang dikepalai oleh pejabat Raksayuda. Pada saat
para pembesar kerajaan menghadap raja, raja dikawal oleh pasukan pengawal yang
beranggotakan 40 orang vang disebut kelompok Mamagasari. Petugas yang diserahi
untuk memelihara dan merawat senjata adalah kelompok Saragam. Kelompok Saragani
ini dikepalai oleh Saradipa. Kelompok Pariwara atau Singabana bertugas
mengawasi dan menjaga keamanan pasar, kelompok ini dikepalai oleh Singantaka
dan Singapati. Mereka beranggotakan 40 orang vang bertugas mengurusi pasar dan
dinas kepolisian. Segala yang terjadi di pasar berada dalam pengawasan mereka.
Uang denda menjadi penghasilan mereka. Seperti disebutkan
sebelumnya bahwa dalam struktur kerajaan. Raja menduduki posisi sentral, namun
dalam pelaksanaannya raja dibatasi oleh Dewan Mahkota yang beranggotakan
bangsawan, keluarga dekat raja dan pejabat birokrasi tingkat atas seperti
Mangkubumi. Dewan Mahkota berfungsi sebagai penasehat raja dalam memecahkan
persoalan-persoalan penting seperti soal pemerintahan, penggantian tahta,
pengumuman perang dan damai, hubungan dengan kekuasaan negara lain dan
sebagainya.
Pengaruh Dewan Mahkota yang beranggotakan golongan bangsawan ini terhadap
sikap dan tindakan raja sangat besar. Pengaruh ini sering disalah gunakan
mereka untuk melemahkan kedudukan raja.
8.
Kerajaan
Jambi
Kesultanan
Jambi, yang merupakan negara vassal Demak di awal abad XVI harus menghadapi
kecenderungan sentrifugalnya secara terus menerus dalam sejarahnya.
Pertama-tama kesultanan ini terdiri atas enam tradisi politik, bangsa VII-XII.
Masing-masing dengan tatanan politik dan kelembagaan yang berbeda. Hubungan
mereka masing-masing dengan sultan di Ibu Negeri, juga berbeda. Jika kelompok
XII, yakni kelompok etnis yang bermukim di sepanjang sungai Batanghari berada
langsung di bawah kekuasaan Sultan, maka orang-orang batin yang dianggap paling
awal datang ke Jambi dan menempati daerah sepanjang Batang Anai serta Batang
Tembesi hanyalah jajahan dari Sultan, walau orang batin agak bebas mengatur
daerah mereka sendiri, mereka dikarenakan kewajiban membayar uang jajah,
sebagai pengakuan terhadap kekuasaan Sultan, melalui instansi perwakilan Sultan
yakni Jenang.
Di
bidang politik dalam negeri, dalam kerajaan Jambi dikenal dengan adanya dua
orang penguasa, yaitu raja "yang tua" dan raja "yang muda".
Masing-masing kemudian dikenal sebagai Sultan dan Pangeran ratu (putra mahkota).
Masing-masing mereka memiliki daerah pendukung di pedalaman dan mempunyai tanda
kebesaran sendiri-sendiri. Namun demikian pemerintahan Jambi tidak terkesan
otoriter dalam menerapkan kebijaksanaan-kebijaksanaan terhadap rakyatnya.
Sehingga amat kecil wibawanya di mata masyarakat, mekanisme kekuasaannya sangat
lemah, yang paling berpengaruh adalah para orang kaya, saudagar dan hartawan. Tidak
seperti Aceh dan Mataram pada abad XVII yang mampu menegakkan secara struktural
kecenderungan otoritas Sultan-sultannya. Adanva dua orang raja juga dimaksudkan
untuk kepentingan integrita kerajaan.
Di
bidang politik luar negeri, untuk menjaga integritasnya, Jambi berusaha
mengikat dirinya dengan sekutu yang selalu berubah-ubah yakni kerajaan-kerajaan
di sekitar itu. Ini disebabkan karena kelemahan institusi politiknya. Dan jika
perlu, ia harus menguasai kemaharajaan negen lain yang lebih kuat, untuk melindungi
dirinya dari tetangganya yang agresif. Adapun sikap terhadap bangsa asing
terutama bangsa Eropa, ia berusaha untuk menjalin hubungan sepanjang
menguntungkan bagi dirinya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Islam
masuk pertama kali ke Indonesia pada tahun pertama Hijriyah. Masuknya islam
dibawa oleh para pedagang-pedagang islam. Wilayah yang pertama kali terjadi
penyebaran islam adalah wilayah pesisir utara Sumatra yaitu di wilayah Aceh.
Setelah
itu islam meluas ke daerah-daerah lain yang ada di Nusantara. Dalam proses
Islamisasi di Indonesia dilakukan melaui beberapa cara yaitu ; perdagangan,
perkawinan, tasawuf, pendidikan, kesenian dan politik.
Peran
politik kerajaan-kerajaan islam yang ada di Indonesia sangatlah besar dalam
perluasan Islam. Karena rakyat cenderung patuh terhadap perintah yang diberikan
oleh Rajanya.
B.
Saran
Materi mengenai Keadaan Politik Kerajaan Indonesia merupakan materi
yang rumayan susah untuk dipahami. Maka dari itu bagi para pembaca hendaklah
sabar dalam mempelajari tetapi harus tetap semangat karena lambat laun apapun
yang dulunya susah ketika kita mau mempelajari dengan sungguh-sungguh,
insyaAllah Allah akan memberi kemudahan.
Materi ini sangatlah bagus untuk dipelajari, karena membahas
mengenai sejarah bagaimana awal mula masuknya Islam di Indonesia dan bagaimana
keadaan politik, system politik dan beberapa kebijakan raja dahulu dalam
mengatur system pemerintahan dan rakyatnya. Semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat kepada pembacanya. Amin.
Daftar Pustaka
Harun, M.
Yahya. 1994. Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI & XVII. Yogyakarta :
Kurnia Kalam Sejahtera.
Syamsu,
Muhammad. 1996. Ulama Pembawa Islam di Indonesi dan Sekitarnya. Jakarta
: Lentera.
Tim MGMP
Sejarah. 2006. Sejarah IPA. Kudus : Prasati.
Huda, Nor.
2007. Islam Nusantara. Yogyakarta : Ar-Ru Media.
Zaeni. 2012. Buku
Diktat Pendidikan Agama Islam Jilid V. Dharmotamma Satya Praja.
[1]
Zaeni, Buku Diktat Agama Islam jilid V , halaman 63.
[2]
Drs. M. Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI & XVII (Yogyakarta
: Kurnia Kalam Sejahtera), halaman 17.
[3]
Drs. M. Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI & XVII (Yogyakarta
: Kurnia Kalam Sejahtera), halaman 18.
[4]
Drs. M. Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI & XVII (Yogyakarta
: Kurnia Kalam Sejahtera), halaman 47.
[5] Drs. M. Yahya Harun, Kerajaan Islam
Nusantara Abad XVI & XVII (Yogyakarta : Kurnia Kalam Sejahtera),
halaman 74.
Komentar
Posting Komentar