TAFSIR : MAKALAH METODE TAFSIR
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang Masalah
Al-Quran
datang ke hadapan kaum Arab kala itu dengan format yang tidak pernah mereka
kenal sebelumnya serta keindahan gaya bahasa yang tak tertandingi oleh para
tokoh dan pakar bahasa waktu itu. Kitab suci ini telah menantang para pujangga
dan tokoh-tokoh penyair Arab untuk membuat tandingan bagi Al-Quran, mulai dari
terberat atau membuat satu saja:
أَمْ
يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِثْلِهِ وَادْعُوا مَنِ
اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ .(38)
Atau (patutkah)
mereka mengatakan: "Muhammad membuat-buatnya." Katakanlah:
"(Kalau benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat
seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk
membuatnya) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar."(Q.S. Yunus :
38),
Al-Quran
adalah sumber ajaran Islam. Laksana samudera yang keajaiban dan keunikannya
tidak pernah sirna di telan masa, sehingga lahirlah bermacam-macam tafisr
dengan metode yang beraneka ragam. Para ulama telah menulis dan mempersembahkan
karya-karya mereka dibidang tafsir ini, dan menjelaskan metode-metode yang
digunakan oleh masing-masing tokoh penafsir, metode-metode yang dimaksud adalah
metode tahliliy, ijmali, muqaran, dan maudhu’i.
Banyak
cara pendekatan dan corak tafsir yang mengandalkan nalar, sehingga akan sangat
luas pembahasan apabila kita bermaksud menelusurinya satu demi satu. Untuk itu,
agaknya akan lebih mudah dan efesien, pembahasan didalam makalah ini hanya
mengambil empat metode tafsir saja yaitu tahliliy, ijmaliy, muqaran, dan
maudhu’i. Empat metode ini dalam menafsirkan Al. Quran membantu dan
memudahkan mempelajari dan memahami ayat Al-Quran itu sendiri. Dan mengingat
empat metode tersebut telah menjadi pilihan banyak mufassir (ulama
tafsir) dalam karyanya.
B. Rumusan
Masalah
Untuk memudahkan mencari materi yang akan dijelaskan dalam makalah ini,
kami membuat rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan metode tafsir?
2. Apa yang dimaksud dengan penafsiran
Al-Quran?
3. Apa saja macam metode tafsir?
C.
Tujuan Penulisan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :
1. Agar pembaca mengetahui dan memahami
pengertian metode tafsir.
2. Agar pembaca mengetahui dan memahami
pengertian penafsiran Al-Quran.
3. Agar pembaca mengetahui dan memahami
empat macam metode yang umum digunakan dalam tafsir.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Metode Tafsir
Tafsir yaitu penjelasan tentang
maksud–maksud Allah dalam Firman-Nya sesuai dengan kemampuan manusia. Tersirat
dari kata penjelasan adanya sesuatu yang dihidangkan sebagai penjelasan,
serta cara menghidangkan penjelasan itu. Sedang dari kata kemampuan manusia tersirat
keanekaragaman penjelasan dan caranya, di samping mengandung tentang
kedalaman/keluasan atau kedangkalan dan keterbatasannya.(M.Quroisy
Shihab,2013:377)
Setiap metode yang dikembangkan saat
ini memiliki keistimewaan dan juga kelemahan. Masing-masing dapat digunakan
sesuai tujuan yang ingin dicapai.
Kata “Metode” berasal dari Bahasa
Yunani methodos, yang berarti cara atau jalan. Bahasa Inggris (method),
dan Bahasa Arab (thariqot dan manhaj). Dalam Bahasa Indonesia,
kata tersebut berarti “cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai
maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya); cara kerja yang bersistem untuk
membuahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai suatu yang ditentukan.”
Pengertian metode yang umum itu
dapat digunakan pada berbagai objek, baik berhubungan dengan pemikiran atau
penalaran akal, atau menyangkut pekerjaan fisik. Jadi metode adalah salah satu
sarana yang amat penting untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam
kaitan ini, maka studi tafsir Al Qur’an tidak lepas dari metode, yakni suatu
cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk
mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah SWT di dalam
ayat-ayat Al Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Adapun Metodologi Tafsir ialah ilmu
tentang menafsirkan Al Qur’an. Sedangkan
cara menyajikan atau memformulasikan tafsir tersebut dinamakan teknik
atau seni penafsiran. Jadi, metode tafsir merupakan kerangka atau kaidah yang
digunakan dalam menafsirkan ayat -ayat Al Qur’an. Dan seni atau teknik ialah
cara yang dipakai ketika menerapkan kaidah yang tertuang didalam metode.
B. Pengertian
penafsiran Al-Qur’an
Menurut Bahasa, Tafsir berwazan dari kata dasar
al-fasr berarti menjelaskan atau menyingkap makna yang abstrak. Kata
tafsir juga diambil dari kata al-tafsir, yaitu ilmu yang digunakan dokter untuk
mengetahui penyakit.
Abu Hayan mendefinisikan tafsir sebagai ilmu yang
membahas tentang cara pengungkapan kata-kata Al Qur’an baik
petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik secara tunggal atau tarkib.
Kesempurnaan pnafsiran Al Qur’an membutuhkan ilmu nasakh dan asbabun nuzul.
Dari pengertian dan definisi diatas dapat diambil
kesimpulan bahwa tafsir adalah ilmu yang digunakan untuk mengungkap kandungan
dan rahasia Al Qur’an, baik yang terkandung dalam dzohir lafadz atau kalimat
dengan menggunakan beberapa ilmu yang terkait dalam Al Qur’an. Yakni dengan
mengetahui ilmu nasakh , mengenai:
1.
Penghapusan atau pembatalan hukum yang telah
ditetapkan dahulu akibat turunnya ketetapan hukum yang baru datang kemudian.
2.
Adanya pengecualian terhadap hukum yang tertentunya
bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang diturunkan kemudian.
3.
Penjelasan yang datang kemudian untuk ketetapan hokum
yang belum jelas yang datang terdahulu
C. Macam-Macam
Metode Tafsir
Secara umum dikenal
empat macam metode penafsiran yaitu:
1.
Metode Tahlily/Analisis
a.
Pengertian
Kata
tahlili adalah bentuk masdar dari kata hallala-yuhallilu-tahliilan, yang
berasal dari kata halla-yahullu-halln yang berarti membuka sesuatu.
Tidak ada sesuatu pun yang tertutup darinya. Dari sini dapat difahami bahwa
arti kata tahlil berarti membuka sesuatu yang tertutup atau yang terikat dan
mengikat sesuatu yang berserakan agar tidak terlepas atau tercecer.
Metode Tahlily adalah metode
penafsiran Al-Quran yang dilakukan dengan cara menjelaskan ayat-ayat al-Quran
dalam berbagai seginya,sesuai dengan pandangan, kecenderungan, dan keinginan
mufasirnya yang dihidangkan secara runtut sesuai dengan perurutan ayat-ayat Al
Qur’an, serta menjelaskan maksud yang terkandung di dalamnya sehingga kegiatan
mufassir hanya menjelaskan ayat demi ayat, surat demi surat, makna lafal
tertentu, susunan kalimat, persesuaian kalimat satu dengan kalimat lain.
Metode
Tahlily merupakan metode yang paling tua dan paling sering digunakan. Metode
menekankan pada penafsirannya; bersifat kebahasaan, hukum, social budaya,
filsafat/sains dan ilmu pengetahuan tawasuf/isyary dll.
Menurut
imam Malik bin Nabi, tujuan utama ulama’ menafsirkan Al Qur’an dengan metode
ini adalah untuk meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan
kemu’jizatan Al Qur’an.
b.
Ciri –
ciri dan contoh metode Tahlily
Diantara ciri-ciri dari tafsir yang menggunakan
tahlili adalah sebagai berikut:
1) Mufassir menafsirkan ayat demi ayat dan surat demi
surat secara berurutan sesuai dengan urutannya dalam mushaf
Seorang mufassir berusaha menjelaskan makna yang terkandung di dalam ayat-ayat al-qur’an secara komprehensif dan menyeluruh, baik dari segi I’rab, asbabun nuzul dan yang lainnya.
Seorang mufassir berusaha menjelaskan makna yang terkandung di dalam ayat-ayat al-qur’an secara komprehensif dan menyeluruh, baik dari segi I’rab, asbabun nuzul dan yang lainnya.
2) Menjelaskan munasabat (kaitan) antara satu ayat dengan
yang lain, juga antara surah dengan surah yang lain.
3) Dalam penafsirannya, seorang mufassir menafsirkan
ayat-ayat baik melalui pendekatan bil-ma’sur maupun bir ra’yi.
Penafsiran yang mengikuti metode ini dapat mengambil
bentuk ma’tsur [riwayat] atau ra’y [pemikiran]: Di antara kitab
tafsir tahlili yang mengambil bentuk al-ma’tsur adalah kitab tafsir Jami’
al-Bayan’an Ta’wil Ayi al-Qur’an karangan Ibn Jarir al-Thabari [w.310H], Ma’alim
al-Tazil karangan al-Baghawi [w.516H], Tafsir al-Qur’an al-’Azhim
[terkenal dengan tafsir Ibn Katsir] karangan Ibn
Katsir [w.774H], al-Durr al-Mantsur fi al-tafsir bi
al-Ma’tsur karangan al-Suyuthi [w.911H].
Tafsir tahlili yang mengambil bentuk al-Ra’y banyak sekali, antara lain:
Tafsir Lubāb al-ta’wīl fī ma‘ānī al-tanzīl karya Imam al-Khāzin (w.741 H
Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil karangan al-Baydhawi [w.691H], al-Kasysyaf
karangan al-Zamakhsyari [w.538H], ’Arais al-Bayan fi Haqaia al-Qur’an
karangan al-Syirazi [w.606H], al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib karangan
al-Fakhr al-Razi [w.606H], Madārik al-Tanzīl wa haqā’iq al-ta’wīl karya
al-Nasafī (w.701 H) al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an karangan Thanthawi
Jauhari, Irshād al-‘aql al-Salīm ilā mazāya al-Kitāb al-karīm karya Abū
Sa‘ūd (w.982 H). Tafsir al-Manar karangan Muhammad Rasyid Ridha [w.1935]
dan lain-lain.
Jadi, pola penafsiran yang diterapkan
oleh para pengarang kitab-kitab tafsir di atas
terlihat, bahwa mereka berusaha menjelaskan makna yang terkandung di dalam
ayat-ayat al-Qur’an secara komprehensif dan menyeluruh,
baik yang berbentuk al-ma’tsur maupun al-ra’y. Untuk
lebih mudah mengenal metode tafsiranalitis,berikutini dikemukakan
beberapa corak tafsir yang tercakup dalam
tafsir tahlili, sebagai contoh, yaitu: Tafsir al-Ma’tsur, yaitu cara
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan nash-nash, baik dengan ayat-ayat
al-Qur’an sendiri, dengan hadis-hadis Nabi, dengan pendapat sahabat, maupun
dengan pendapat tabiin. Pendapat [aqwal] tabiin masih kontraversi
dimasukkan dalam tafsir bil ma’tsur sebab para tabiin dalam memberikan
penafsiran ayat-ayat al-Qur’an tidak hanya berdasarkan riwayat yang mereka
kutip dari Nabi, tetapi juga memasukkan ide-ide dan pemikiran mereka [melakukan
ijtihad]. Tafsir ma’tsur yang paling tinggi peringkatnya
adalah tafsir yang berdasarkan ayat
al-Qur’an yang ditunjuk oleh Rasulullah. Peringkat kedua adalah
tafsir dengan hadis. Di bawahnya adalah tafsir ayat dengan aqwal [pendapat]
sahabat dan peringkat terakhir adalah tafsir ayat dengan aqwal
tabiin.
Menurut Husein Dzahabi, ada dua cara yang ditempuh oleh para ulama dalam
memberikan tafsir bi al-ma’tsūr ini: Pertama, marhala syafahiyya
(penuturan lisan) yang disebut dengan marhala riwā’iyya, di mana seorang
sahabat meriwayatkannya dari Rasulullah, atau dari sesama sahabat, atau seorang
tabi’i meriwayatkan melalui jalan seorang sahabat, dengan cara penukilan yang
terpercaya, mendetail, dan terjaga melalui isnad, sampai pada tahap
selanjutnya. Kedua, marhala tadwīn, dengan cara menuliskan riwayat yang
ditunjukkan seperti di dalam marhala yang pertama. Hal ini seperti juga
ditunjukkan dalam kitab-kitab hadis sejak masa awal hingga berdiri sendiri
sebagai disiplin ilmu yang terpisah.
Tafsir al-Ra’y, yaitu tafsir ayat-ayat al-Qur’an yang
didasarkan pada ijtihad mufasirnya dan menjadikan akal fikiran sebagai
pendekatan utamanya. ”tafsiri al-ra’y yang menggunakan
metode analitis ini, paramufassirmemperoleh
kebebasan, sehingga mereka agak lebih otonom
[mandiri] berkreasi dalam memberikan interpretasi
terhadap ayat-ayat al-Qur’an selama masih dalam batas-batas
yang diizinkan oleh syara dan kaidah kaidah penafsiran yang mu’tabar.
Itulah salah satu sebab yang membuat tafsir dalam bentuk al-ra’y dengan
metode analitis dapat melahirkan corak penafsiran yang beragam sekali seperti
tafsir fiqhi, falsafi, sufi, ’ilmi, adabi ijtima’i, dan lain sebagainya.
Tafsir bi al-ra’y berkembang jauh lebih pesat meninggalkan tafsir bi
al-ma’tsur, sebagaimana diakui oleh ulama tafsir semisal Manna’
al-Qhathathan.
c. Kelebihan
Tafsir Tahlily
Diantara
kelebihan metode ini ialah sebagai berikut:
1)
Ruang
lingkup luas
Dapat dikembangkan dalam berbagai corak penafsiran
sesuai keahlian masing – masing mufasir. Seperti:
ü
Ahli
Bahasa kitab tafsir Al Nasafi karangan Abu al Su’ud
ü
Ahli
filsafat kitab tafsir Al Fakhr Al Razi
ü
Ahli
sains dan teknologi kitab tafsir Jawahir karangan Al Thanthowi Al Jauhari
ü
Ahli
qiro’at karangan Abu Hayyan
2)
Memuat
berbagai ide
Memberi kesempatan mufasir untuk mencurahkan ide – ide dan gagasannya
dengan mengemukakan pemikiran – pemikirannya maka lahirlah kitab tafsir
berjilid, Seperti:
ü Kitab tafsir At Thabroni (15 jilid)
ü Kitab tafsir Ruh Al Ma’ani (16 jilid)
ü Kitab tafsir Al Fakhr Al Razi (17 jilid)
ü Kitab tafsir Al Maroghi (10 jilid)
d.
Kekurangan
Diantara kekurangan metode ini ialah sebagai berikut:
1)
Menjadikan
petunjuk parsial atau terpecah – pecah
Al Qur’an terasa tidak utuh dan tidak konsisten karena
penafsiran yang diberikan pada suatu ayat berbeda dengan ayat – ayat lain yang
sama.
2)
Melahirkan
penafsiran subjektif
Sesuai dengan kemauan hawa nafsu mufasir tanpa
mengindahkan kaidah-kaidah dan norma-norma yang berlaku. Bahkan ide-ide jahat
dan ekstrim dikemukakannya sehingga menyimpang dari maksud ayat. Menjadikan
metode ini lemah dan kurang representative, yakni penafsiran yang tidak
didukung argument-argumen yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah.
e.
Langkah-langkah
Dalam menggunakan metode penafsiran tahlili, terdapat langkah-langkah penafsiran yang pada umumnya digunakan, yaitu:
Dalam menggunakan metode penafsiran tahlili, terdapat langkah-langkah penafsiran yang pada umumnya digunakan, yaitu:
1)
Menerangkan makki dan madani di awal surat
2)
Menerangkan asbabun nuzul (jika ada)
3)
Menerangkan arti mufrodat (kosa kata), termasuk
di dalamnya kajian bahasa yang mencakup 4.I’rab dan balaghah
Menerangkan unsur-unsur fasahah,bayan,dan I’jaz-nya
Memaparkan kandungan ayat secara umum dan maksudnya.
Menerangkan unsur-unsur fasahah,bayan,dan I’jaz-nya
Memaparkan kandungan ayat secara umum dan maksudnya.
4)
Menjelaskan hukum yang dapat digali dari ayat
yang dibahas.
2.
Metode Ijmali/Global
a.
Pengertian
Metode ijmali (global) yaitu, metode penafsiran al-Quran yang
dilakukan dengan cara menjelaskan maksud al-Qur’an secara global(mencangkup
bahasa popular, mudah dimengerti dan enak dibaca) tidak terperinci seperti
tafsir tahlili. Para pakar menganggap bahwa metode ini merupakan metode yang
pertama kali hadir dalam sejarah perkembangan metodologi tafsir, karena
didasarkan pada kenyataan bahwa era awal-awal Islam, metode ini yang dipakai
dalam memahami dan menafsirkan al-Quran. Realitas sejarah dahulu para sahabat
adalah mayoritas orang Arab yang ahli bahasa Arab dan mengetahui dengan baik
latar belakang asbabun nuzul-nya ayat, bahkan menyaksikan serta terlibat
langsung dalam situasi dan kondisi umat Islam ketika ayat-ayat al-Quran turun.
Hal ini dapat menyuburkan persemaian metode global karena sahabat tidak
memerlukan penjelasan yang rinci dari Nabi, tetapi cukup dengan isyarat dan
uraian sederhana.
Dengan metode ini, langkah awal yang dilakukan para
mufassir adalah membahas ayat demi ayat sesuai dengan urutan yang ada pada
mushaf, lalu mengemukakan arti yang dimaksud ayat-ayat tersebut dengan global.
Ma’na yang diutarakan biasanya diletakkan di dalam rangkaian ayat atau menurut
pola-pola yang diakui jumhur ulama’ dan mudah difaham semua orang.Adapun
bahasa, diupayakan lafadznya mirip bahkan sama dengan lafadz yang digunakan
al-Quran sehingga pembaca bisa merasakan bahwa uraian tafsirnya tidak jauh
berbeda dari gaya bahasa al-Quran dan terkesan bahwa hal itu benar-benar
mempresentasikan pesan al-Quran.
b.
Ciri-ciri metode tafsir ijmali
1)
Urutannya sesuai dengan urutan mushaf.
2)
Mufassir langsung menafsirkan ayat al-Qur’an
dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul.
3)
Setiap surat dibagi menjadi kelompok-kelompok
ayat, lalu ditafsirkan secara ringkas dan global.
4)
Sebagian lafal dari ayat menjadi pengait antara
nash ayat dengan tafsirnya.
5)
Lafal dan bahasanya tidak jauh dari nash
Al-Quran.
6)
Mufassir tidak banyak mengemukakan pendapat dan
idenya.
7)
Mufassir tidak banyak memberikan penafsiran
secara rinci tetapi ringkas dan umum, meskipun pada beberapa ayat tertentu memberikan
penafsiran yang agak luas, namun tidak pada wilayah analitis.
c.
Kelebihan
Dalam kaitan ini metode ijmali (global) dalam
penafsiran Al-Qur’an memiliki kelebiha yaitu :
1) Praktis dan mudah dipahami.
2) Bebas dari penafsiran israilat.
3) Akrab dengan bahasa Al-Qur’an.
f.
Kekurangan
1) Menjadikan petunjuk Al-Qur’an bersifat persial.
2) Tak ada ruanagan untuk mengemukakan analisis yang
memadai.
g.
Contoh
metode ijmali
1)
Tafsir al-Jalalayn, karya Jalal ad-Din
as-Suyuthi dan Jalal ad-Din al-Mahalli.
2)
Shafwah al-Bayan Lima’ani al-Qurân, karya
Syeikh Hasanain Muhammad Makhluf.
3)
Tafsîr al-Quran al-‘Azhim, karya Ustadz
Muhammad Farid Wajdiy.
4)
Tafsir al-Wasith, karya Tim Majma’ al-Buhuts
al-Islamiyyah (Lembaga Penelitian Islam) al-Azhar Mesir.
5)
Taj al-Tafasir, karya Muhammad ‘Utsman
al-Mirghani.
3.
Metode Muqorin/Perbandingan
a.
Pengertian
Yaitu, metode
penafsiran al-Qur’an yang dilakukan dengan menemukan dan mengkaji
perbedaan-perbedaan antara unsur-unsur yang diperbandingkan, baik dengan
menemukan unsur yang benar diantara yang kurang benar, atau untuk tujuan
memperoleh gambaran yang lebih lengkap mengenai masalah yang dibahas dengan
jalan penggabungan unsur-unsur yang berbeda itu.
Tafsir muqarrin
dilakukan dengan membandingkan ayat satu dengan ayat yang lain, yaitu dengan
ayat-ayat yang mempunyai kemiripan redaksi dalam dua masalah atau kasus yang
berbeda atau lebih, atau yang memiliki redaksi yang berbeda untuk kasus yang
sama, atau yang diduga sama, atau membandingkan ayat dengan hadis yang tampak
bertentangan, serta membandingkan pendapat ulama tafsir menyangkut penafsiran
Al qur’an. Jadi dilihat dari pengertian tersebut dapat dikelompokkan 3 objek
kajian tafsir, yaitu:
1)
Membandingkan ayat al-Qur’an dengan ayat
al-Qur’an yang lain.
Mufasir membandingkan ayat Al-Qur’an dengan ayat lain, yaitu ayat-ayat
yang memiliki persamaan redaksi dalam dua atau lebih masalah atau kasus yang
berbeda; atau ayat-ayat yang memiliki redaksi berbeda dalam masalah atau kasus
yang (diduga) sama. Al-Zarkasyi mengemukakan delapan macam variasi redaksi
ayat-ayat Al-Qur’an,sebagai berikut :
a)
Perbedaan tata letak
kata dalam kalimat, seperti :
ﻗﻞﺇﻥﻫﺪﯼﺍﷲﻫﻮﺍﻟﻬﺪﯼ
“Katakanlah : Sesungguhnya petunjuk Allah itulah
(yang sebenarnya) petunjuk” (QS : al-Baqarah : 120)
ﻗﻞﺇﻥﺍﻟﻬﺪﯼﻫﺪﯼﺍﷲ
“Katakanlah : Sesungguhnya petunjuk (yang harus
diikuti) ialah petunjuk Allah” (QS : al-An’am : 71)
b) Perbedaan dan penambahan huruf, seperti :
ﺳﻮﺍﺀﻋﻠﻴﻬﻢﺃﺃﻧﺬﺭﺗﻬﻢﺃﻡﻟﻢﺗﻨﺬﺭﻫﻢﻻﻳﺆﻣﻨﻮﻥ
“Sama saja bagi mereka apakah kamu memberi
peringatan kepada mereka ataukah kamu tidak memberi peringatan kepada mereka,
mereka tidak akan beriman” (QS : al-Baqarah : 6)
ﻭﺳﻮﺍﺀﻋﻠﻴﻬﻢﺃﺃﻧﺬﺭﺗﻬﻢﺃﻡﻟﻢﺗﻨﺬﺭﻫﻢﻻﻳﺆﻣﻨﻮﻥ
“Sama saja bagi mereka apakah kamu memberi
peringatan kepada mereka ataukah tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka
tidak akan beriman” (QS : Yasin: 10)
c)
Pengawalan dan
pengakhiran, seperti :
ﻳﺘﻠﻮﻋﻠﻴﻬﻢﺍﻳﺘﻚﻭﻳﻌﻠﻤﻬﻢﺍﻟﻜﺘﺐﻭﺍﻟﺤﻜﻤﺔﻭﻳﺰﻛﻴﻬﻢ
“...yang membaca kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan
mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan al-Hikmah serta mensucikan
mereka” (QS. Al-Baqarah :129)
ﻳﺘﻠﻮﻋﻠﻴﻬﻢﺍﻳﺘﻪﻭﻳﺰﻛﻴﻬﻢﻭﻳﻌﻠﻤﻬﻢﺍﻟﻜﺘﺐﻭﺍﻟﺤﻜﻤﺔ
“...yang membaca ayat-ayatNya kepada mereka,
mensucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan
al-Hikmah” (QS. Al-Jumu’ah : 2)
d) Perbedaan nakirah (indefinite noun) dan ma’rifah (definte noun), seperti
:
ﻓﺎﺳﺘﻌﺬﺑﺎﺍﷲﺇﻧﻪﻫﻮﺍﻟﺴﻤﻴﻊﺍﻟﻌﻠﻴﻢ
“...mohonkanlah perlindungan kepada Allah.
Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Fushshilat
: 36)
ﻓﺎﺳﺘﻌﺬﺑﺎﺍﷲﺇﻧﻪﺳﻤﻴﻊﺍﻟﻌﻠﻴﻢ
“...mohonkanlah perlindungan kepada Allah.
Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-A’raf : 200)
e)
Perbedaan bentuk
jamak dan tunggal, seperti :
ﻟﻦﺗﻤﺴﻨﺎﺍﻟﻨﺎﺭﺇﻻﺃﻳﺎﻣﺎﻣﻌﺪﺩﺓ
“...Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api
neraka, kecuali selama beberapa hari saja.” (QS. Al-Baqarah : 80)
ﻟﻦﺗﻤﺴﻨﺎﺍﻟﻨﺎﺭﺇﻻﺃﻳﺎﻣﺎﻣﻌﺪﺩﺍﺕ
“...Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api
neraka, kecuali selama beberapa hari yang dapat dihitung.” (QS. Ali-Imran : 24)
f)
Perbedaan penggunaan
huruf kata depan, seperti :
ﻭﺇﺫﻗﻠﻨﺎﺍﺩﺧﻠﻮﺍﻫﺬﻩﺍﻟﻘﺮﻳﺔﻓﻜﻠﻮﺍ
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman : Masuklah
kamu ke negeri ini, dan makanlah ...” (QS. Al-Baqarah : 58)
ﻭﺇﺫﻗﻴﻞﻟﻬﻢﺍﺳﻜﻨﻮﺍﻫﺬﻩﺍﻟﻘﺮﻳﺔﻭﻛﻠﻮﺍ
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman : Masuklah
kamu ke negeri ini, dan makanlah ...” (QS. Al-A’raf : 161)
g) Perbedaan penggunaan kosa kata, seperti :
ﻗﺎﻟﻮﺍﺑﻞﻧﺘﺒﻊﻣﺎﺃﻟﻔﻴﻨﺎﻋﻠﻴﻪﺃﺑﺈﻧﺎ
“Mereka berkata : Tidak, tetapi kami hanya mengikuti
apa yang telah kami dapati (alfayna) dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (QS.
Al-Baqarah : 170)
ﻗﺎﻟﻮﺍﺑﻞﻧﺘﺒﻊﻣﺎﻭﺟﺪﻧﺎﻋﻠﻴﻪﺃﺑﺈﻧﺎ
“Mereka berkata : Tidak, tetapi kami hanya mengikuti
apa yang telah kami dapati (wajadna) dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (QS.
Luqman : 21)
h) Perbedaan penggunaan idgham (memasukkan satu huruf ke huruf lain),
seperti :
ﺫﻟﻚﺑﺄﻧﻬﻢﺷﺎﻗﻮﺍﺍﷲﻭﺭﺳﻮﻟﻪﻭﻣﻦﻳﺸﺎﻕﺍﷲﻓﺈﻥﺍﷲﺷﺪﻳﺪﺍﻟﻌﻘﺎﺏ
“Yang demikian ini adalah karena sesungguhnya mereka
menentang Allah dan Rasulnya, barang siapa menentang (yusyaqq) Allah, maka
sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. Al-Hasyr : 4)
ﺫﻟﻚﺑﺄﻧﻬﻢﺷﺎﻗﻮﺍﺍﷲﻭﺭﺳﻮﻟﻪﻭﻣﻦﻳﺸﺎﻕﺍﷲﻭﺭﺳﻮﻟﻪﻓﺈﻥﺍﷲﺷﺪﻳﺪﺍﻟﻌﻘﺎﺏ
“Yang demikian ini adalah karena sesungguhnya mereka
menentang Allah dan Rasulnya. Barang siapa menentang (yusyaqiq) Allah dan
Rasul-Nya, maka sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. Al-Hasyr :
4)
Dalam mengadakan
perbandingan antara ayat-ayat yang berbeda redaksi tersebut di atas, ditempuh
beberapa langkah : (1) menginventa-risasi ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki
redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama atau yang sama dalam kasus berbeda,
(2) Mengelompokkan ayat-ayat itu berdasarkan persamaan dan perbedaan
redaksinya, (3) Meneliti setiap kelompok ayat tersebut dan menghubungkannya
dengan kasus-kasus yang dibicarakan ayat bersangkutan, dan (4) Melakukan
perbandingan.
2)
Membandingkan ayat dengan hadits Nabi SAW.
Mufasir membandingkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hadits Nabi saw yang
terkesan bertentangan. Dan mufasir berusaha untuk menemukan kompromi antara
keduanya. Contoh perbedaan antara ayat al-Qur’an surat al-Nahl/16 : 32 dengan
hadits riwayat Tirmidzi dibawah ini :
ﺍﺩﺧﻠﻮﺍﺍﻟﺠﻨﺔﺑﻤﺎﻛﻨﺘﻢﺗﻌﻤﻠﻮﻥ
“Masuklah kamu ke dalam surga disebabkan apa yang
telah kamu kerjakan” (QS. Al-Nahl : 32)
ﻟﻦﻳﺪﺧﻞﺃﺣﺪﻛﻢﺍﻟﺠﻨﺔﻳﻌﻤﻠﻪ﴿ﺭﻭﺍﻩﺍﻟﺘﺮﻣﺬﯼ﴾
“Tidak akan masuk seorang pun diantara kamu ke dalam
surga disebabkan perbuatannya” (HR. Tirmidzi)
Antara ayat al-Qur’an
dan hadits tersebut di atas terkesan ada pertentangan. Untuk menghilangkan
pertentangan itu, al-Zarkasyi mengajukan dua cara :
Pertama, dengan menganut pengertian harfiah hadits, yaitu bahwa orang-orang tidak
masuk surga karena amal perbuatannya, tetapi karena ampunan dan rahmat Tuhan.
Akan tetapi, ayat di atas tidak disalahkan, karena menurutnya, amal perbuatan
manusia menentukan peringkat surga yang akan dimasukinya. Dengan kata lain,
posisi seseorang di dalam surga ditentukan amal perbuatannya. Pengertian ini
sejalan dengan hadits lain, yaitu :
ﺇﻥﺃﻫﻞﺍﻟﺠﻨﺔﺇﺫﺍﺩﺧﻠﻮﻫﺎﻧﺰﻟﻮﺍﻓﻴﻬﺎﺑﻔﻀﻞﻋﻤﻠﻬﻢ﴿ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﯼ﴾
“Sesungguhnya ahli surga itu, apabila memasukinya,
mereka mendapat posisi di dalamnya berdasarkan keutamaan perbuatannya”. (HR.
Tirmidzi)
Kedua, dengan menyatakan bahwa huruf ba’ pada ayat di atas berbeda konotasinya
dengan yang ada pada hadits tersebut. Pada ayat berarti imbalan, sedangkan pada
hadits berarti sebab.
3)
Membandingkan pendapat penafsiran ulama tafsir.
Mufasir membandingkan penafsiran ulama tafsir, baik ulama salaf maupun
ulama khalaf, dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, baik yang bersifat manqul
(al-tafsir al-ma’tsur) maupun yang bersifat ra’yu (al-tafsir
bi al-ra’yi).
Manfaat yang dapat diambil dari metode tafsir ini adalah : 1) membuktikan
ketelitian al-Qur’an; 2) membuktikan bahwa tidak ada ayat-ayat al-Qur’an yang
kontradiktif; 3) memperjelas makna ayat; dan 4) tidak menggugurkan suatu hadits
yang berkualitas sahih.
Sedang dalam hal perbedaan penafsiran mufasir yang satu dengan yang yang
lain, mufasir berusaha mencari, menggali, menemukan, dan mencari titik temu di
antara perbedaan-perbedaan itu apabila mungkin, dan mentarjih salah satu
pendapat setelah membahas kualitas argumentasi masing-masing.
Perbandingan adalah ciri utama bagi Metode Komparatif. Disini letak salah
satu perbedaan yang prinsipil antara metode ini dengan metode-metode lain. Hal
ini disebabkan karena yang dijadikan bahan dalam memperbandingkan ayat dengan
ayat atau ayat dengan hadits, adalah pendapat para ulama tersebut dan bahkan
dalam aspek yang ketiga. Oleh sebab itu jika suatu penafsiran dilakukan tanpa
membandingkan berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para ahli tafsir, maka
pola semacam itu tidak dapat disebut “metode muqarrin”.
Dari definisi
yang dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa metode muqarrin adalah:
1) Membandingkan
teks ayat-ayat al-qur’an yang memiliki kesamaan atau kemiripan redaksi dalam
dua kasus atau lebih atau memiliki redaksi yang berbeda bagi kasus yang sama.
2) Membandingkan
ayat-ayat al-qur’an dengan hadits yang pada lahirnya terlihat bertentangan.
3) Membandingkan
berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan.
c. Contoh kitab tafsir yang menggunakan
metode Muqarrin
1) Durrah
at-Tanzîl wa Ghurrah at-Tanwil, karya al-Iskafi (yang terbatas pada perbandingan
antara ayat dengan ayat).
2) Al-Jami’ li Ahkam al-Quran, karya
al-Qurthubiy (yang membandingkan penafsiran para mufassir).
3) Rawa’i al-Bayan fî Tafsir Ayat al-Ahkam,
karya ‘Ali ash-Shabuniy .
4) Qur’an and its Interpreters (salah satu
karya tafsir yang lahir di zaman modern ini), karya Profesor Mahmud Ayyoub.
d. Kelebihan
1) Membuka pintu untuk selalu bersikap toleran
terhadap pendapat orang lain amat berguna bagi mereka yang ingin mengetahui
berbagai pendapat tentang suatu ayat.
2) Mendorong mufassir untuk mengkaji berbagai
ayat dan hadits-hadits serta pendapat-pendapat para mufassir yang lain.
3) Membuktikan ketelitian al-Quran.
4) Meyakinkan bahwa tidak ada ayat-ayat
al-Quran yang kontradiktif.
5) Memperjelas ma’na ayat tidak menggugurkan
suatu hadits hadits yang berkualitas shahih.
d. Kekurangan
1) Penafsiran yang menggunakan metode ini,
tidak dapat diberikan kepada para pemula.
2) Metode muqarrin kurang dapat diandalkan
untuk menjawab permasalahan sosial yang tumbuh di tengah masyarakat. hal itu
disebabkan metode ini lebih mengutamakan perbandingan daripada pemecahan
masalah.
3) Metode muqarrin terkesan lebih banyak
menelusuri penafsiran-penafsiran yang pernah di berikan oleh ulama daripada
mengemukakan penafsiran-penafsiran baru. Sebenarnya kesan serupa itu tak perlu
timbul bila mufassirnya kreatif.
4. Metode Maudhu’i/ Tematik
a. pengertian
Yaitu, metode penafsiran Al-Quran yang
dilakukan dengan cara memilih topik tertentu yang hendak dicarikan
penjelasannya dalam al-Quran yang berhubungan dengan topik tersebut, lalu
dicarilah kaitan antara berbagai ayat ini agar satu sama lain bersifat
menjelaskan, kemudian ditarik kesimpulan akhir berdasarkan pemahaman mengenai
ayat-ayat yang saling terkait itu.
Metode ini diperkenalkan pertama kalinya oleh
Syekh Mahmud Syaltut (1960 M) ketika menyusun tafsirnya, Tafsir
Al-Qur’anul Karim. Sebagai penerapan ide yang dikemukakan oleh asy-Syatibi, ia
berpendapat bahwa setiap dalam surat walaupun masalah yang dikemukakan
berbeda-beda namun ada satu tema yang sentral yang mengikat dan menghubungkan
masalah-masalah yang berbeda tersebut. Ide ini kemudian dikembangkan oleh Prof.
Dr. Ahmad Sayyid Al-Kumi. Ketua Jurusan Tafsir pada fakultas Usuluddin
Universitas AL-Azhar sampai tahun 1981. Berikutnya Prof.Dr. Al-Farmawi menyusun
sebuah buku yang memuat langkah-langkah tafsir maudhu’I yang diberi judul
al-bidayah wan nihayah fi tasir al-maudhu’i.
Dalam perkembangan metode maudhu’i ada dua bentuk penyajian pertama
menyajikan kotak berisi pesan-pesan al-Qur’an yang terdapat pada
ayat-ayat yang terangkum pada satu surat saja. Biasanya kandungan
pesan tersebut diisyaratkan oleh nama surat
yang dirangkum padanya selama nama tersebut bersumber dari informasi rasul. Kedua,
metode maudhu’i mulai berkembang tahun 60-an. Bentuk kedua ini menghimpun pesan-pesan
al-Qur’an yang terdapat tidak hanya pada satu surah saja.
b. Ciri metode Maudhu’i
Metode ini ialah
menonjolkan tema. Judul atau topik pembahasan, sehingga tidak salah jika
dikatakan bahwa metode ini juga disebut metode topikal. Jadi, mufassir mencari
tema-tema atau topik-topik yang ada di tengah masyarakat atau berasal dari
al-Qur’an itu sendiri, atau dari lain-lain. Kemudian tema-tema yang sudah
dipilih itu dikaji secara tuntas dan menyeluruh dari berbagai aspeknya sesuai
dengan kapasitas atau petunjuk yang termuat di dalam ayat-ayat yang
ditafsirkan tersebut. Jadi penafsiranyang diberikan tidak boleh jauh dari
pemahaman ayat-ayat al-Qur’an agar tidak terkesan penafsiran tersebut berangkat
dari pemikiran atau terkaan berkala [al-ra’y al-mahdh]. Oleh karena itu
dalam pemakainnya, metode ini tetap menggunakan kaidah-kaidah yang berlaku secara
umum di dalam ilmu tafsir.
c. Langkah –
langkah metode tematik dapat dirinci sebagai berikut :
1) Menentukan
bahasan al-Quran yang akan diteliti secara tematik.
2)
Melacak dan mengoleksi ayat-ayat sesuai topic yang diangkat.
3)
Menata ayat-ayat tersebut secara kronologis (sebab turunnya), mendahulukan
ayat Makiyyah dan Madaniyyah, disertai pengetahuan tentang latar belakang
turunnya ayat.
4)
Mengetahui korelasi (munasabah) ayat-ayat
tersebut.
5)
Menyusun tema bahsan dalam kerangka yang
sistematis
Melengkapi bahsan dengan hadits-hadits terkait.
Melengkapi bahsan dengan hadits-hadits terkait.
6)
Mempelajari ayat-ayat itu secara tematik dan
komprehensif dengan cara mengoleksi ayat-ayat yang memuat ma’na yang sama,
mengkompromikan pengertian yang umum dan khusus, muthlaq dan muqayyad,
mengsinkronkan ayat-ayat yang tampak kontradiktif, menjelaskan nasikh dan
mansukh sehingga semuanya memadu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau
pemaksaan dalam penafsiran
d. Contoh Kitab-kitab Tafsir yang menggunakan
metode Maudhu’i
1) Al-Mar’ah fi al-Quran dan Al-Insan
fii al-Quran al-Kariim, karya Abbas Mahmud al-Aqqad.
2) Ar-Ribaa fii al-Quran
al-Kariim, karya Abu al-‘A’la al-Maududiy.
3) Rawa’i al-Bayan fii Tafsir Ayat al-Ahkam,
karya ‘Ali ash-Shabuniy.
4) Al-Washaayaa
al-‘Asyr, karya Syaikh Mahmud Syalthut.
5) Tema-tema Pokok al-Quran, karya Fazlur
Rahman.
6) Wawasan al-Quran Tafsir Maudhu’i Atas
Pelbagai Persoalan Umat, karya M. Quraish Shihab.
e. Kelebihan
1)
Memberikan pemecahan terhadap
permasalahan-permasalahan hidup praktis, sekaligus memberikan jawaban terhadap
tuduhan/dugaan sementara orang bahwa al-quran hanya mengandung teori-teori
spekulatif tanpa menyentuh kehidupan nyata.
2)
Sebagai jawaban terhadap tuntutan kehidupan
yang selalu berubah dan berkembang, menumbuhkan rasa kebanggaan terhadap
al-Quran.
3)
Studi terhadap ayat-ayat terkumpul dalam satu
topik tertentu juga merupakan jalan terbaik dalam merasakan fashahah dan balagh
Al-Quran.
4)
Kemungkinan untuk mengetahui satu permasalahan
secara lebih mendalam dan lebih terbuka.
5)
Lebih tuntas dalam membahas masalah
f. Kekurangan
Melibatkan pikiran
dalam penafsiran terlalu dalam tidak menafsirkan segala aspek yang dikandung
satu ayat, tetapi hanya salah satu aspek yang menjadi topik pembahasan saja.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Metode Maudu’i
a. Mufasir dalam
penafsirannya tidak terikat dengan susunan ayat dalam mush-haf, tetapi lebih terikat dengan urutan masa
turunnya ayat atau kronologis kejadian.
b. Mufasir tidak
membahas segala segi permasalahan yang dikandung oleh satu ayat, tapi hanya
yang berkaitan dengan pokok bahasan atau judul yang ditetapkannya.
c. Mufasir dalam
pembahasannya tidak mencantumkan arti kosakata, sebabnuzul,
munasabah ayat dari segi sistematika perurutan, kecuali dalam
batas-batas yang dibutuhkan oleh pokok bahasannya.
d. Mufasir berusaha untuk
menuntaskan permasalahan-permasalahan yang menjadi pokok bahasannya.
2. Metode Anaisis
a. Mufasir memperhatikan susunan sebagaimana tercantum
dalam mush-haf.
b. Mufasir
berusaha untuk berbicara menyangkut segala sesuatu yang ditemukannya dalam
setiap ayat.
c. Mufasir
biasanya hanya mengamukakan penafsiran ayat-ayat secara berdiri sendiri,
sehingga persoalan yang dibahas menjadi tidak tuntas, karena ayat yang
ditafsirkan seringkali ditemukan kaitannya dalam ayat lain pada bagian lain
surat tersebut, atau dalam surat yang lain.
3. Metode Maudhu’i
Mufasir disamping menghimpun
semua ayat yang berkaitan dengan masalah yang dibahas, ia juga mencari
persamaan-persamaan, serta segala petunjuk yang dikandungnya selama berkaitan
dengan pokok bahasan yang ditetapkan.
4. Metode Komparasi
Mufasir biasanya hanya menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan perbedaan
kandungan yang dimaksud oleh masing-masing ayat tersebut atau perbedaan kasus
atau masalah. Misal : Al-Khatib Al-Iskafi dalam kitabnya Durrah Al-Tanzil wa Ghurrah Al-Ta’wil, (tidak
mengarahkan pandangannya kepada petunjuk-petunjuk yang dikandung oleh ayat-ayat
yang dibandingkan)
B. Saran
Hendaklah apabila kita ingin melakukan tafsir kita menggunakan empat metode
ini. Karena metode ini lebih umum dan lebih banyak digunakan ulama’ dalam
melakukan Tafsir.
Daftar Pustka
Sihab, M.
Quraish. 2013. Kaidah Tafsir.Yogyakarta: Lentera Hati
Baidan,
Nasrudin. 1998. Metodologi Penafsiran Al-Quran. Tangerang : PT. Pustaka
Pelajar outside
Nurhadi, Amari
Ma’ruf. 2012. Tafsir untuk kelas XII MA. Kartosuro : PT. Wangsajatra Lestari
\
Komentar
Posting Komentar