Contoh Cerpen pesan rindu dari pakde

Pesan Rindu dari Pakde
Oleh: Etik Siti Handayani


Assalamualaikum Kang Imam yang terhormat,
Kang.. apa sampean lupa sama Pakde? Apa Kang Imam lupa sama keluarga mu di kampung halaman? Kok sebegitu teganya sampean ngga ngasih kabar setidaknya ke Pakde.. Bapakmu sendiri.
Kang.. apa sampean pengen kayak malin kundang? yang durhaka sama orang tuanya. Pergi merantau diperbolehkan tapi setelah sampean sukses, sampean lupa sama orang tuamu sendiri sama keluargamu sendiri.
Kang.. apa Kang imam ngga kangen sama Pakde? Sama seluaraga? Embah sakit kang sudah tiga tahun ini ngga kunjung sembuh, mbo setidaknya Kang imam telfon Pakde.. telfon Embah..
Klik kirim.
Amarahku menggebu ketika aku mengetik pesan ini di wall Facebooknya, aku bergejolak hatiku marah! Karna aku juga sudah sempat menghubunginya lewat pesan Inbox tapi entah tak pernah ada balasan darinya. Tiga tahun sudah Ia meninggalkan Pakde, Keluarga dan kampung halaman tapi dalam kurun waktu tiga tahun ini pula Ia tidak memberi kabar kepada Pakde dan kami. Aku sempat stalking Facebooknya aku lihat status-statusnya, memang dia jarang membuat status. Jarang online.
Sehari.. dua hari.. seminggu.. tak ada balasan juga darinya. Aku buka dindingnya, aku stalking lagi facebooknya. Dua hari setelah aku membuat pesan di wallnya ternyata dia telah membuat status, ada beberapa teman yang komentar didalam statusnya. Tapi kenapa pesanku tidak dibalas? Apa dia tidak membaca? Setidaknya ada notificasi kalau aku mengirim pesan di wall nya? Kurasa dia membaca pesanku tapi mengapa Kang? Mengapa engkau mengacuhkan pesanku? Tanyaku dalam hati.
Malam ini aku bertemu dengan Pakde, Pakde kebetulan sedang main ke rumah Embah. Rumahku dan rumah Embah bergandengan jadi otomatis kalau ada tamu yang ke Rumah Embah pasti juga akan mampir kerumahku, seperti sanak saudara.
“Pakde.. aku kemarin nge-wall Kang imam di Facebook” sambil berjalan menghampiri Pakde yang duduk di bangku dengan membawakan segelas teh hangat.
“Dibales piye ndok?” Katanya.
Aku tahu betul ekspresi ini, raut wajahnya langsung berubah. Matanya nanar, memancarkan harapan, tubuhnya yang tadinya kuyu langsung bersemangat ketika mendengar nama anaknya itu aku sebut. Tak tega sebenarnya jika aku harus mengatakan jawaban yang tak mengenakan padanya.
“Tapi ngga dibales eg Pakde..”
Hening. Kulihat ekspresi wajahnya langsung berubah mendengar jawabanku. Duh pakde maafkan aku.
“Apa pakde sudah dapat telfon dari kang imam?” tanyaku memecah keheningan.
“Belum ndok, Kang mu dulu pernah berpesan dia akan telfon kalau sudah empat tahun disana. Aku juga sudah mencatatnya di buku, dulu Kang mu bilang.. kalau dia tidak ngasih kabar berarti dia jenak dan baik-baik saja”
Ah pakde.. aku tau kalau kau bohong. Dulu kau bilang Kang Imam baru akan memberi kabar jika sudah satu tahun di sana, setelah satu tahun tak juga memberi kabar. Saat itu pula kau membuat pernyataan baru kalau sudah dua tahun baru akan memberi kabar. Dan kini setelah tiga tahun kau masih saja berkata hal yang sama dengan pembelaan yang sama. Aku tau hatimu terluka, aku tau hatimu teriris Pakde.. kau hanya ingin menyembunyikan rasa pilumu. Aku tau pelupuk matamu menyimpan genangan air mata yang bak ingin kau tumpahkan tapi kau bendung.
Tak tega melihat Pakde akupun keluar rumah duduk diayunan kain yang telah dibuatkan Bapak ku. Ayunan ini diikat diantara dua pohon mangga yang tak terlalu besar namun tak terlalu kecil, tapi cukup kuat untuk menahan berat badanku dan kakak ku yang sering berayun-ayun menikmani angin sepoi-sepoi dusun Taruman. Aku rebahkan badanku di ayunan kain ini, kutatap langit malam yang cerah tak berawan. Bulan purnama! Ya, malam ini bulan purnama telah menyapa langit, sinarnya bak lampu jalan..terang benderang. Purnama pun ditemani beribu bintang, bintang itu berkelap kelip cantik dan indah. Kubuang pandangan ku sebentar kedalam rumah, kulihat sosoknya masih termenung di ruang tamu sambil memijat - mijat kening. Mungkin ia merasa pening. Hidup sebatang kara, istrinya meninggal tiga setengah tahun yang lalu dan punya seorang anak laki-lakipun kini entah tiada kabar.
Aku sering kasihan kepada Pakde ku ini, tapi kadang juga agak jengkel. Ibuku sering marah-marah jika cerita tentang pakde dan kadang aku juga terprofokasi.  Hanyut dalam cerita Ibuku. Saat itu Pakde disuruh memeliharakan kambing Ibu, pada saat sudah beranak sang Induk dijual tanpa sepengetahuan Ibuku. Dan ketika dua anak kambing itu sudah besar, kambing-kambing itu dijual lagi oleh Pakde dan Ibuku tidak diberi uang hasil penjualan seperpun.
“sudah dijual, masih minta upah 300 ribu pula ke Ibu!” kata Ibu penuh amarah.
“ya Allah…Pakde kok koyo ngono banget. Keterlaluan !!” aku terprofokasi.
Aku tau dia melakukan hal itu karena desakan ekonomi. Hidup sebantang kara, ditinggal Istri dan Anak. Tak pernah mendapat kabar dari Anak satu-satunya apalagi mendapat kiriman uang.
Pada saat berkumpul keluarga pakde sering mendekatiku dan bercerita kepada ku mengenai Kang Imam kecil. Dia bercerita bahwa Imam kecil adalah anak yang lincah dan pemberani. Dahulu ketika masih dipondok, kang imam sering pulang sendirian, tak kenal pagi, siang, sore, maupun malam. Imam kecil yang lincah ini pulang dengan berjalan kaki menempuh jarak berkilo-kilo meter. Langkahnya tegap, gesit, dan pasti. Ia juga pemberani, pernah pada suatu malam karna sangat rindunya kepada Pakde atau karena sebab habisnya uang jajan ia nekat pulang. Ia berjalan menembus gelapnya bumi tengah malam. Dari pondok ia berangkat habis isya.. ia berjalan tegap dan pasti, tanpa seorang teman. Jalan yang ia lalui merupakan jalan-jalan yang cukup seram. Ia harus melewati makam, dua kali yang mistis dan juga alas roban.
Pada saat ia melewati makam bulu kuduknya sempat berdiri.. hawa dingin semerbak mendekap tengkuknya, iapun diam sejenak mencoba melawan takut. Ia ingat petuah pak kyai nya “wahai santri-santriku… jika engkau mendapat gangguan dari mahkluk halus bacakan ayat kursi, pastilah mahluk itu akan takut dan lari terbirit-birit menjauhimu!”. Ia pun menundukkan kepala, mengeluarkan tasbih dan mulai berkomat-kamit membaca ayat kursi. Tiga menit kemudian hawa dingin itupun hilang dan bulu kuduk yang sempat berdiripun kembali ke keadaan normal.
Perjalanan pun berlanjut menyebrangi kali Tokek. Di kali Tokek ia tidak mendapat gangguan apapun. Tetapi ketika ia melewati kali kedua yang bernama ‘kali Lantung’ ia sempat mendapat gangguan. Tiba-tiba ada banyak kelinci putih bergerombol di jembatan kali. Entah dari mana datangnya. Imam kecil kemudian mengambil terasi dari kantongnya. Dengan tambahan doa iapun berkomat-kamit layaknya Mbah dukun membaca mantra. Lalu dilemparkanlah terasi tersebut kearah gerombolan kelinci-kelinci itu. Tidak mempan! 
Imam kecilpun kemudian berpikir sejenak dan segera ingat “ealahhh!! Lah ngapain aku kasih terasi, mereka kan ga doyan terasi” gumamnya, dahinya mengkerut.
“woyy! Ngga doyan terasi ya??” bentaknya pada kelinci-kelinci itu yang konon katanya merupakan kelinci siluman.
Ia ambil senjata cadangan untuk melawan kelinci-kelinci itu, di ambilah wortel dari ransel. Kemudian melemparkan nya ke kelinci-kelici itu. Respon! Kelinci siluman itupun berebut memakan wortel. Imam kecil pun tak kehabisan akal, ia lemparkan semua wortel yang ia miliki ke sawah sebelah kali, dan kelinci-kelinci itupun terbirit-birit berebut wortel. Berhasil sudah ia menyingkirkan kelici siluman dari jembatan.
Saat melewati alas Roban ia juga mendapat gangguan.. dari kejauhan ada bayangan hitam dari sebuah lampu jalan yang tak begitu terang.. semakin lama sekin mendekat. Ia pun sigap dan mengeluarkan senjata terakhirnya yaitu ketapel!. Di ambinya batu dan ia langsung menembak ketapel tersebut kearah bayangan hitam. Plaaaak!
“yes kena! Hahaha hey setan makanya jangan mcam-macam kau sama aku!” batu itu mengenai tepat sasaran.
“dasar bocah! Aku manusia bukan setan! Awas kau akan aku jewer kalau sampai ketangkap!”
Imam kecilpun langsung lari terbirit-birit dikejar Bapak-Bapak setengah baya itu. Ia akhirnya lolos dan sampai di desanya. Desa Jatisari.
Keesokan harinya tetangga depan rumah datang kerumah Pakde Jeni dan bercerita bahwa tadi malam pada saat ia berjalan di alas ia di ketapel bocah ingusan yang menganggapnya setan.
“pakde.. lihat ini dahiku benjol! Semalam aku di lempar batu Bocah ingusan pake ketapel untung saja batu yang digunakan kecil coba kalau dia pakai batu yang besarnya sejempol sudah berdarah darah ini dahiku! Kurang ajar to Pakde! Aku tak begitu melihat wajahnya karena gelap aku sempat mengejarnya tapi sayang tidak tertangkap Pakde sampe aku ngos-ngosan hampir kehabisan napas untung aku ora semaput dijalan!” celoteh tetangga Pakde yang menggebu-gebu. Bercerita tanpa koma dan titik.
Aku ketawa terpingkal-pingkal mendengar cerita pakde ini. Karena aku adalah orang yang sangat penakut pakde sering bercerita tentang sesuatu yang bisa membuatku berani “masak sama setan aja takut? Kamu kan udah ngaji juga? Buat apa bisa ngaji kalo sama setan aja takut?” katanya setiap selesai bercerita.
***
Pilu memang rasanya, aku jadi teringat tiga tahun yang lalu, ketika Kang Imam masih ada disini. Banyak kendala yang harus dilalui saat ia ingin pergi menjadi buruh pabrik di Taiwan. Kendala utamanya yaitu uang. Untuk pergi dia membutuhkan uang yang banyak, untuk mengurus ini itu. Sampai dia sering bolak balik ke kantor pusat. Dan pada suatu ketika ia nekat menjual motor smash produk Honda. Pada saat itu Pakde sudah melarangnya untuk jangan sampai menjual motor satu-satunya itu, karena motor itu adalah hasil keringat Makde ketika menjadi buruh di arab Saudi. Bagi pakde, motor itu sangat berharga karena itu adalah benda satu-satunya peninggalan Isteri tercintanya.
Setelah dijual tanpa sepengetahuan Pakde maupun keluarga ku, lama kelamaan kami pun tahu. Dan Pakde marah besar kepadanya, Ia memaki habis-habisan.
Karena motornya dijual, ia selalu meminjam motorku untuk mengurus segala urusan kepergiannya yang belum selesai. Setelah semua urusan selesai satu minggu kemudian ia berpamitan dengan semua keluarga. Ada janji yang pernah dia ucapkan kepada kami “saya pergi yaa.. saya akan segera menghubungi kalian. Doakan aku jadi orang yang sukses, banyak uang.”
***
Sepeninggalan Kang Imam, Pakde selalu berada dirumah sendirian. Tanpa teman. Pernah dia ingin menikah lagi dengan tetangga samping rumahnya akan tetapi hal tersebut tidak jadi karena ternyata, sang tetangga tak direstui oleh orang tua dan anaknya. Dan faktor lain ternyata Ia telah dilamar Duda dengan keadaan ekonomi yang lebih baik dibandingkan keadaan ekonomi Pakde.
Seketika Pakde merasa patah hati dan ia akhirnya mengurungkan niatnya untuk menikah lagi. Sesekali aku main kerumah Pakde untuk menengoknya sambil membawakan makanan untuknya. Melihat keadaan rumahnya jelas menunjukan betapa tidak terurus kehidupannya kini. Rumah berantakan. Dapur acak-acakan. Kamar mandi rusak. Dan benar-benar sangat memprihatinkan.
Untuk mengusir kesepiannya ia sering main ke rumahku dan rumah Embah. Pernah Ia ke Taruman berjalan kaki bermodalkan senter. Ia berjalan melewati kali besar, dan pada saat ia melewati kali karena saking gerahnya ia memutuskan mandi disana. Tepat tengah malam mandi di kali gede. Esoknya aku kaget karena tiba-tiba masuk kekamarku membangunkan ku untuk bersiap-siap menunaikan shalat idul adha.
“masyaallah.. pakde kapan datangnya? Pagi-pagi sudah disini? Mau shola ied disini pakde? Tumben.” Cerocosku.
“tadi malem jatisari mati lampu ndok.. tak tunggu lama ngga hidup-hidup. Yowis dari pada sepi dirumah mending ke Taruman wae” jawabnya.
***
Dorrrr!!!
“aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!!!!” aku memekik
“hus hus minggir-minggir, malah nglamun. Gentian ayunannya” usir Mas Ruly. Kakak kandungku.
Jelas aku sangat kaget hobynya selalu jahilin Adik sendiri. Aku berdiri dari ayunan dan bermigrasi duduk di kursi kayu sebelahnya. Aku ambil Hp dan membuka aplikasi facebook, aku searching akun facebook milik Kang Imam. Aku ketik namanya di bagian searc ‘imam junaedi’. Aku cari akun milik Kang ku itu. Tidak ada!
Berulang-ulang aku mengetik namanya dan memastikan bahwa aku tidak salah ketik. Tapi hasinya tetap saja tidak ada.
“Mas.. namanya kang imam itu siapa to? Imam junaedi kan? I-M-A-M J-U-N-A-E-D-I”
“iyooo” jawabnya singkat.
Ya Tuhan.. kenapa tidak ada? Apa Ia sengaja mengganti namanya agar aku tidak bisa menghubunginya lagi? Agar aku tidak bisa mengomelinya lagi lewat wall maupun inbox?!
Aku tatap langit yang terang akan sinar rembulan.. yang indah akan hiasan bintang-bintang. Aku mencoba berbicara pada langit. Wahai langit.. sampaikan pesan rindu Pakde pada Kang Imam yang berada jauh dinegeri seberang.



Piye : bagaimana.
Ndok : panggilan untuk anak perempuan.
Koyo ngono : seperti  itu.
Kali : sungai.
Ora semaput : tidak pingsan.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Psikologi Perkembangan Masa Pranatal

Makalah Maf'ul Mutlaq dan Ma'ul Ajalah

Daftar isi